Indonesia mempunyai julukan sebagai negara agraris dengan berbagai kekayaan alam yang banyak dari Sabang hingga Marauke. Indonesia juga menempati posisi keempat dengan luas wilayah terbesar di dunia, dan menyandang sebagai negara kepulauan terluas di dunia.
Menurut organisasi pangan dan pertanian dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia memiliki lahan persawahan padi paling produktif di Asia dengan total lahan sawah mencapai 4,9 juta hektar. bphn.go.id
Nusantara terkenal akan kesuburan tanahnya yang bisa ditanami berbagai macam tumbuhan. Sehingga, Indonesia memiliki hasil pertanian melimpah dan banyak diminati masyarakat lokal hingga luar negeri. Misalnya, sawit yang digadang-gadang sebagai raja ekspor hingga saat ini, lalu ada biji cokelat, karet, kayu, dan lain-lain. Indonesia juga memiliki petani padi sawah yang bisa ditemui di berbagai provinsi yang ada di Indonesia.
Di Flores, kita dapat menjumpai petani padi di delapan kabupaten. Bukan hanya hasil pertanian yang melimpah, di Flores, Nusa Tenggara Timur, kita juga bisa menemui sawah yang unik dan menarik berbentuk jaring laba-laba atau disebut sebagai Lingko Lodok oleh masyarakat lokal. Sawah unik ini ada di beberapa tempat di Kabupaten Manggarai, yaitu di Kecamatan Lembor Manggarai Barat, Kecamatan Ruteng Manggarai, dan di Kecamatan Lambaleda Manggarai Timur.
Bentuknya yang unik ternyata berkaitan dengan fungsi sawah dengan pola pengelolaan lahan secara adat oleh masyarakat Manggarai. Yaitu, bagian kecil berada di bagian tengah, lalu keluar semakin lama semakin lebar. Mereka menyebutnya lingko, yakni sistem pembagian sawah yang merupakan lahan-lahan warga setempat yang difungsikan untuk memenuhi kebutuhan bersama. Nantinya, pembagian tersebut dilakukan oleh ketua adat (tu’a teno).
Sedangkan lodok adalah pusat dari lingko atau bagian tengah-yang berbentuk bundaran-dari persawahan yang berbentuk jaring laba-laba. Lodok yang menjadi titik pusat merupakan tempat warga Manggarai untuk mengadakan berbagai upacara adat. Mereka mempersembahkan korban binatang, biasanya ayam jantan, saat musim tanam dan musim panen. Persembahan tersebut merupakan ungkapan rasa syukur mereka atas hasil kerja yang telah didapat.
Ketua adat atau tu’a teno dan ketua kampung atau tu’a golo akan mendapatkan bagian sawah yang lebih besar dibanding yang lain. Tidak asal, pembagian lahan pertanian tersebut mengikuti rumus jari tangan yang telah disesuaikan dengan jumlah penerima tanah warisan dan garis keturunan. Sehingga menurut rumus jari tangan atau rumus moso pembagian tanah diutamakan bagi petinggi desa dan keluarganya, diikuti rakyat biasa dari warga suku, lalu setelahnya baru dari rakyat luar suku.
Sistem pembagian sawah lingko lodok tidak asal dilakukan, sistem ini telah dilakukan sejak dahulu kala, sebelum adanya pembagian tanah secara nasional. Zaman dahulu kala, ketika warga hendak membagi lingko, lodok atau titik pusatnya ditandai dengan kayu seukuran paha orang dewasa yang mereka sebut dengan haju teno atau kayu teno. Tepat di pusat lingko tersebut akan ditarik garis jari-jari lingkaran yang kemudian menjadi batas antarlahan.
Ritual Adat
Sebagai tanda penghargaan kepada para leluhur, masyarakat Manggarai masih melakukan berbagai macam ritual adat dalam bertani, bahkan dari mulai pembukaan lahan hingga musim panen. Bagi mereka, bercocok tanam, berkebun, dan sebagainya ritual tersebut merupakan bagian yang sulit dipisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Upacara saat membuka kebun di lahan baru yaitu lea lose dipimpin ketua adat. Bagi masyarakat Manggarai, ritual ini sangatlah penting. Tak hanya untuk memohon berkat dari nenek moyang, tapi juga dapat menghindarkan sial bagi lahan baru yang sebelumnya adalah hutan. Setelah itu, ritual dilanjutkan dengan penebangan dan pembakaran pohon untuk lahan persawahan. Lalu, dilaksanakanlah ritual bernama benco raci, yakni upacara yang dilakukan sebelum menanam padi atau jagung di lahan yang telah tersedia. Benco raci dilakukan sebagai bentuk permohonan berkat atas benih baru.
Saat padi, jagung, maupun benih lain telah berumur 1-2 bulan, masyarakat Manggarai mengadakan ritual wasa. Ritual tersebut dilakukan masyarakat Manggarai untuk memohon perlindungan atas benih yang telah tumbuh, supaya benih-benih yang telah tumbuh tidak diacak-acak dan diincar kera atau babi hutan. Lalu, mereka juga melakukan upacara oli, yang dimaksudkan untuk memohon kesuburan atas seluruh tanaman dari nenek moyang suku yang disebut dengan wura agu ceki.
Setelah sawah-sawah mereka siap panen, maka hang latung weru dan hang rani akan dilakukan. Semua yang memiliki lahan sawah tidak ada yang boleh memanennya duluan, tetapi harus bersama-sama. Ketika semua lahan sawah telah dipanen, maka upacara penti dilakukan. Mereka melakukannya untuk mengungkapkan rasa syukur atas apa yang telah didapat, yaitu panen dan kehidupan yang telah dilalui selama setahun terakhir.
Dalam upacara penti, mereka juga memohon kepada sang leluhur agar memberikan perlindungan dan keharmonisan untuk kehidupan yang akan datang. Upacara ini diramaikan dengan pemberkatan dan atraksi budaya khas masyarakat Manggarai, seperti tari caci. Penti biasa dilakukaan saat kegiatan berladang dimulai.
Keunikan budaya masyarakat Manggarai, Flores ini patut dijaga dan dilestarikan. Pasalnya, keunikan polanya yang membentuk jaring laba-laba. Turis lokal hingga turis asing pun berbondong-bondong datang untuk menikmati keindahan dan keunikan sawah jaring laba-laba. Sebagai orang Indonesia, kita patut berbangga karena Indonesia semakin dikenal di mata dunia. (T-1)