Ada campur tangan mendiang Sultan Hamengkubuwono IX dalam membangun saluran air sepanjang 30,8 km yang mengairi 15.734 hektare persawahan di Yogyakarta.
Yogyakarta tak hanya dikenal sebagai Kota Pelajar. Daerah yang pernah menjadi pusat pemerintahan Indonesia di awal kemerdekaan itu punya bermacam tempat bersejarah yang belum banyak dikenal masyarakat secara luas. Salah satunya, sebuah kanal buatan yang membelah Kota Gudeg sepanjang 30,8 kilometer, membentang dari timur ke barat menghubungkan Sungai Opak dan Sungai Progo.
Namanya selokan Mataram yang berhulu di Sungai Progo tepatnya di Bendungan Karang Talun, Desa Bligo, Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dan berhilir di Tempuran, Sungai Opak, Randugunting, Kalasan, Sleman, Yogyakarta. Bendungan Karang Talun setinggi 20 meter ini letaknya di perbatasan Jawa Tengah dan Yogyakarta, di antara Magelang dan Kabupaten Kulonprogo.
Di sisi kiri-kanan bendungan dibangun tangga berundak yang difungsikan sebagai fasilitas jalan inspeksi. Bendungan buatan 1909 itu menjadi pertemuan dua saluran irigasi. Selain selokan Mataram ada juga saluran Van der Wijck sepanjang 17 km. Van der Wijck dikenal juga sebagai selokan Mataram II, karena sumber airnya sama, Sungai Progo.
Bendungan punya empat pintu air (gejlig) warna biru yang berfungsi memecah arus dari Sungai Progo. Setiap pintu air mempunyai bantaran yang memanjang sekitar 10 meter dengan menyesuaikan hulu selokan Mataram yang berbelok kurang lebih 35 derajat. Pada salah satu bantarannya dibangun kincir kecil sebagai sumber pembangkit listrik mikrohidro di dusun setempat.
Masih di sekitar hulu, ada hal unik yang menjadi ciri khas selokan Mataram. Menurut peneliti dari Universitas Gadjah Mada, Fajar Sulistyo dalam "Selokan Mataram, Dalam Cerita dan Fakta" hal unik itu adalah adanya terowongan air sepanjang 979 meter, atau berjarak 200 meter dari tepian Sungai Progo. Aliran selokan Mataram melintasi bawah permukaan tanah Desa Bligo, mulai dari Bligo Nggagan menuju Bligo Krajan.
Terdapat pintu keluar air di Krajan dan memanjang sekira 300 meter sebelum bersua bendungan Karang Talun untuk bergabung dengan banyu dari irigasi Van der Wijck. Selokan membelah kota pelajar Yogyakarta, melintasi ujung barat Sleman hingga paling timurnya. Semakin ke hulu, selokan kian lebar, antara 2--6 meter dan mampu mengairi 15.734 hektare persawahan di sepanjang alirannya.
Di wilayah barat, aliran air di selokan itu mampu mengairi Kecamatan Moyudan, Minggir, Seyegan, Mlati. Di utara, kecuali Kecamatan Tempel, Pakem, Turi, dan Ngaglik. Di bagian selatan, air selokan Mataram menghidupkan persawahan Kabupaten Bantul dan sekitarnya serta daerah Prambanan, Kalasan, di wilayah timur. Alirannya juga ikut membelah kawasan kampus UGM di Buluksumur, Babarsari.
Selokan Bersejarah
Selokan ini sarat nilai sejarah dan itu membuatnya ditetapkan sebagai cagar budaya. Semua itu tak lepas dari peran mendiang Sultan Hamengkubuwono IX, Raja Keraton Yogyakarta yang dilantik pada 18 Maret 1940.
Guru Besar Teknik Sipil UGM Budi Santosa Wignyosukarto dalam sebuah diskusi terkait saluran legendaris itu, beberapa waktu lalu, menjelaskan bahwa Sultan resah dengan masuknya Jepang ke wilayahnya pada 1942. Itu lantaran bangsa penjajah tersebut sedang menjalankan program kerja paksa atau romusha di sekitar Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Sultan kemudian mengajukan usul mengerahkan ribuan rakyatnya untuk membangun selokan Mataram. Selokan ini sebetulnya sudah ada sejak 1588 kendati bentuknya hanya berupa parit pertahanan dan tidak sepanjang sekarang ini dan dialiri air.
Sultan terinspirasi Sunan Kalijaga yang menyatakan Yogyakarta akan subur dan rakyatnya sejahtera jika aliran Progo dan Opak bisa bersatu. Sebelumnya, Raja Joyoboyo dari Kerajaan Kediri yang berkuasa pada 1135-1159 pernah meramalkan, penyatuan dua sungai di tanah Mataram akan memberikan kemakmuran pada rakyatnya. Hal itu diungkapkan Suherman dalam Selokan Mataram dalam Perspektif Sejarah Lokal yang terbit pada 2018.
Kehadiran saluran irigasi tersebut sangat diperlukan untuk menyuburkan wilayah Yogyakarta yang kekeringan saat itu di mana rakyatnya hanya bisa makan gaplek dan bertanam singkong. Padahal, usulan itu hanya cara Sultan mencegah Jepang menjadikan ribuan rakyatnya sebagai peserta romusha.
Ide Sultan Hamengkubuwono IX itu tentu saja diloloskan penjajah dan pembangunannya dilakukan pada 1942-1944. Jepang menamai saluran ini sebagai kanal Yoshihiro, mengacu kepada nama jenderal perang Shimazu Yoshihiro (1535-1619). Ia dikenal karena memimpin 300 pasukannya mengalahkan 3.000 pasukan musuh pada Perang Kizakihira di Kyushu, 1572 lampau.
"Selain berhasil mencegah rakyatnya terjerat romusha, Sultan Hamengkubuwono IX juga menjadikan daerahnya lebih subur karena adanya selokan Mataram ini," ujar Budi.
Budi mengungkapkan, banyak tantangan yang kemudian dihadapi selokan Mataram yang kini menjadi tanggung jawab Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tersebut. "Ada perubahan tata guna lahan pertanian menjadi permukiman maupun industri. Terjadinya kerusakan jaringan saluran tersier, serta air tanah yang semakin susut. Di samping itu terjadi lonjakan populasi dan pengaruh perubahan iklim," ungkapnya.
Ragil Haryanto dari Fakultas Teknik Universitas Diponegoro pada 2015 pernah meneliti perubahan tata guna lahan di selokan Mataram yang mengalir di Kecamatan Depok, Sleman sejauh 2,8 km. Jika pada 1980 kawasan di tepi aliran adalah persawahan, kebun, dan ladang, maka sejak 1990 kondisinya berubah. Saat itu mulai muncul bangunan kampus, permukiman warga, pertokoan, hingga usaha jasa. Puncaknya, pada 2005 terdapat total 175 unit bangunan untuk usaha.
Oleh sebab itu, pihak BBWS-SO berupaya melakukan perbaikan sebagai bentuk konservasi untuk memperpanjang umur selokan Mataram. Pada 1980 membangun talud bagian hulu selokan Mataram sepanjang 10 km. Kemudian, secara berkala melakukan pembersihan semak belukar dan rumput di tepian saluran.
"Selokan Mataram perlu kita jaga karena menjadi ikon peninggalan sejarah di Yogyakarta yang menghubungkan Sungai Opak dan Sungai Progo," tegas Kepala BBWS-SO Dwi Purwantoro.
Tanggap darurat juga pernah diberlakukan BBWS-SO ketika tanggul selokan Mataram di Dukuh Cabeyan, Desa Bligo, ambrol. Kejadian pada 9 Desember 2021 itu menyebabkan tanggul sepanjang 6 meter dan lebar 2,5 meter itu jebol. Ini akibat tak kuasa menahan derasnya debit air saat hujan turun terus-menerus. Kini, segala upaya dilakukan demi bisa terus mempertahankan eksistensi selokan Mataram sebagai urat nadi pertanian masyarakat Yogyakarta.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari