Presiden Jokowi meminta pandemi Covid-19 dapat dijadikan momentum untuk bergerak ke arah ekonomi hijau.
Indonesia terus berkomitmen mencapai net zero emission (emisi nol bersih/nol emisi karbon/karbon netral) paling lambat pada 2060. Untuk menuju ke arah itu, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya perlu bersama merumuskan langkah pengendalian perubahan iklim yang konsisten dan berkelanjutan.
Presiden Joko Widodo bahkan telah memerintahkan pembuatan peta jalan (roadmap) agar program energi terbarukan bisa dipercepat, selain penerapan secara luas pengelolaan sampah, sehingga pengendalian perubahan iklim membuahkan hasil manis bagi Indonesia. Roadmap yang diminta Presiden Jokowi menyangkut penurunan emisi dari batu bara, antara lain, langkah-langkah terhadap pengaturan pabrik pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang sudah tua.
Menyikapi permintaan Presiden Jokowi itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan, pihaknya akan menyesuaikan Rancangan Umum Energi Nasional. Penyesuaian itu harus didasari pada poin-poin pada strategi energi nasional yang telah disusun agar bisa dilaksanakan secara sistemik.
Menurut Arifin, strategi yang disusun nanti visioner dan implementasinya harus konsisten, demi mempercepat pemakaian energi baru terbarukan. “Sehingga negara ini bisa mendukung target-target pengurangan temperatur 2 derajat celcius sesuai dengan perjanjian kita di dalam Paris Agreement," kata Arifin, seperti dikutip dari akun Youtube Sekretariat Negara, Selasa (20/4/2021).
Pada kesempatan itu, seperti disampaikan Menteri ESDM, Presiden Jokowi juga meminta agar Indonesia lebih bisa melihat momentum pandemi Covid-19 untuk bergerak ke arah ekonomi hijau seperti yang telah dilakukan sejumlah negara.
Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dan penanggung jawab net zero emission mengemukakan, Indonesia pada 2030 sudah akan mencapai net zero emission, terutama pada sektor kehutanan. Bahkan, sudah bisa berkontribusi besar terhadap penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) pada 2030.
Paling Lambat 2060
Perlu diketahui, Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai target net zero emission pada semua sektor paling lambat 2060. “Dalam penghitungan angka-angka emisi karbon dari segala sektor, pada 2030 Indonesia menargetkan sudah bisa mencapai karbon netral, bahkan sudah bisa menyimpan karbon 140 juta ton khusus dari sektor kehutanan,” kata Menteri Siti Nurbaya.
Bagaimana sebenarnya potret Indonesia menuju target net zero emission atau netral karbon menjadi lebih cepat terutama di sektor energi? Satu lembaga bernama Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai, sektor energi Indonesia mampu mencapai target net zero emission atau netral karbon lebih cepat.
"Dalam laporan ini, kami juga menunjukkan bahwa satu dekade ke depan akan sangat penting karena untuk bisa mencapai netral karbon di 2050, maka emisi gas rumah kaca di Indonesia dari sektor energi harus mencapai puncaknya pada 2030. Kemudian bisa turun secara bertahap menuju 2050," ujar Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam acara peluncuran laporan IESR.
Menggunakan model transisi sistem energi yang dikembangkan oleh Lappeenranta University of Technology (LUT), Finlandia, laporan ini memperlihatkan bahwa Indonesia mampu menggunakan 100 persen energi terbarukan di sektor kelistrikan, industri, dan transportasi.
“Model yang menggunakan analisis skenario secara terperinci untuk Indonesia ini didesain menggunakan resolusi hitungan waktu per jam dan terdiri dari wilayah-wilayah yang saling terhubung, sehingga sangat relevan untuk model transisi energi di Indonesia serta memastikan pasokan energi yang stabil di segala jam dan wilayah,” ujar Christian Breyer, Profesor Ekonomi Surya di LUT.
Agar dapat mulai menurunkan emisi GRK, Indonesia perlu memasang sekitar 140 GW energi terbarukan pada 2030 dan sekitar 80 persennya merupakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Selain itu, penjualan mobil dan sepeda motor listrik perlu ditingkatkan, masing-masing menjadi 2,9 juta dan 94,5 juta unit pada 2030. Di sektor industri, pemenuhan kebutuhan panas industri menggunakan listrik perlu menjadi pilihan utama, diikuti oleh energi biomassa.
Hal terpenting lainnya, PLN perlu menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara baru pada 2025. Pada 2045, energi terbarukan memasok 100 persen listrik di Indonesia.
Laporan itu memberikan rekomendasi agar bahan bakar sintetik, hidrogen, dan pemanas listrik lebih berperan dalam dekarbonisasi di sektor transportasi dan industri.
“Dekarbonisasi sistem energi berpotensi mengurangi biaya sistem tahunan sebesar 20 persen dibandingkan dengan sistem energi berbasis fosil,” demikian ditulis dalam laporan tersebut.
Berkaitan dengan permintaan agar PLN menghentikan penggunaan pembangkit berbasis batu bara, baik usulan Presiden Jokowi maupun Institute for Essential Services Reform (IESR), dengan berencana menyetop pembangunan PLTU baru setelah 2025, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menilai, penghentian proyek PLTU baru akan membuka kesempatan bagi Indonesia untuk mencapai target dekarbonisasi pada 2050. "Apabila PLTU tidak disetop, akan sulit untuk EBT masuk, dan juga ini tidak sejalan dengan arah net zero carbon," ujarnya.
Menurut data Kementerian ESDM, kapasitas pembangkit listrik di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Hingga Juni 2020, kapasitas pembangkit di Indonesia telah mencapai 70.964 megawatt (MW). Sejak 2008, PLTU mendominasi kapasitas pembangkit di Indonesia.
Pada Juni 2020, pembangkit tersebut telah menghasilkan 35.220 MW atau 50 persen dari total kapasitas. Pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) menyusul dengan 20.537 MW. Sisanya pembangkit berbasis energi terbarukan baik tenaga gas, tenaga hidro, dan pembangkit energi terbarukan lainnya masih di bawah 10.000 MW.
Harus diakui dalam rangka pemenuhan rasio elektrifikasi 100 persen di negara ini pada 2022, pemerintah tetap berkomitmen mengedepankan pembangkit berbahan bakar fosil ketimbang energi baru terbarukan (EBT). Hal itu tergambarkan dalam rancangan penyusunan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN periode 2021-2030.
Di dalam komposisi pembangkit listrik yang akan dibangun selama satu dekade ke depan, termasuk tahun ini, sebanyak 52 persen pembangkit listrik fosil dan 48 persen EBT. “Penambahan pembangkit EBT sekitar 16,1 GW atau mendekati 40 persen terdiri dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik tenaga panasbumi (PLTP), dan EBT lainnya,” kata Wakil Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo, seperti dikutip Antara, Minggu (30/5/2021).
Di sisi lain, seperti disampaikan Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana, pemerintah menjamin perencanaan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan dengan mengedepankan pembangkit EBT.
Pada tahun ini pemerintah menargetkan penambahan kapasitas energi sebesar 8.915 MW, dengan rincian sebesar 4.688 MW berasal dari pembakaran batu bara di PLTU Mulut Tambang dan pembakaran gas sebesar 3.467 MW.
Sedangkan sisanya sebesar 22 MW bersumber dari pembangkit tenaga diesel dan 737 MW bersumber dari pembangkit energi baru terbarukan berupa air, panas bumi, bio hibrid, serta matahari.
Rida merincikan, sekitar 34.528 MW telah selesai didiskusikan dengan PLN, sedangkan 6.439 MW masih dalam tahap diskusi lanjutan. Berdasarkan aturan yang ada, RUPTL disusun setiap 10 tahun dan bisa dilakukan perubahan apabila dari hasil evaluasi memerlukan perbaikan.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari