Indonesia.go.id - Di Kudus Gelombang Delta Mulai Mereda

Di Kudus Gelombang Delta Mulai Mereda

  • Administrator
  • Rabu, 30 Juni 2021 | 11:31 WIB
COVID-19
  Warga mengikuti rapid test antigen gratis di Alun-alun simpang tujuh, Kudus, Jawa Tengah. Antara Foto/ Yusuf Nugroho
Setelah melewati situasi berat, dengan 440 korban meninggal, gelombang Covid-19 mulai mereda di Kudus. Kasus positif aktif Covid-19 terus menyusut. BOR rumah sakit turun ke 75-80 persen.

Setapak demi setapak, amukan pandemi di Kudus, Jawa Tengah, mulai beringsut turun. Kasus aktif Covid-19 terus menyusut seiring dengan menurunnya kasus baru dan bertambahnya kesembuhan. Per 27 Juni 2021, kasus aktifnya tercatat 1.694, menyusut tajam dari 2.342 kasus, ketika pandemi mencapai puncaknya pada pertengahan Juni.

“Kasus hariannya masih fluktuatif, tapi kecenderunganya terus menurun,” kata Bupati Kudus HM Hartopo. Pada saat puncaknya, angka harian di Kudus sempat melampaui angka 400 kasus. Cukup besar untuk sebuah kabupaten terkecil di Jawa Tengah, dengan luas 425 km2 dan penduduk 890 ribu jiwa.

Setelah mencapai titik tertinggi, kasus harian positif Covid-19 itu bergerak turun pada kisaran 200 kasus per hari. Pada Minggu 27 Juni tercatat 222 kasus baru di tengah upaya tracing-testing masif yang terus dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Kudus.  

Kerepotan Bupati Hartopo sudah jauh berkurang. Warganya yang harus diungsikan di Asrama Haji Donohudan Boyolali, yang berjarak 147 km, praktis tak ada lagi. Memang masih ada 366 warganya yang dirawat di rumah sakit dan 1.326 lainnya yang menjalani isolasi mandiri. Tapi secara umum, kondisi mereka sudah mulai membaik. Bed occupancy rate (BOR) rata-rata rumah sakit di Kudus sudah berangsur membaik dari BOR hampir 100 persen turun ke level 75-80 persen.

Meski  sudah beranjak membaik, Kudus tetap berstatus zona merah. Kasus baru masih terjadi, dan BOR rumah sakit masih tergolong sangat tinggi. Beberapa kabupaten tetangganya, yakni Demak, Jepara, dan Pati, masih bergulat menahan penularan Covid-19 yang mulai melonjak-lonjak setelah  libur lebaran. BOR rumah sakit di daerah sekelilingnya sudah mentok ke angka 100 persen, dan terpaksa meminta calon pasien berobat ke RS rujukan di kabupaten lain, terutama Semarang.

Di Jawa Tengah, pandemi Covid-19 sedang melonjak menuju puncaknya. Gubernur Ganjar Pranowo mengungkapkan, per 28 Januari 2021, dari 35 kabupaten-kota yang ada, 25 resmi berstatus zona merah. “Yang tertinggi masih Kudus dengan 1.694 kasus aktif. Di Kendal 1.611, Kota Semarang 1.510, Kebumen 1.024, dan Sragen 904 kasus aktif,” kata Ganjar Pranowo. “Situasi ini sangat serius,” dia menambahkan.

Jawa Tengah sendiri merupakan provinsi penyumbang kasus aktif terbesar ketiga secara nasional, dengan 22.311 kasus (10,2 persen). Penyumbang terbesar adalah DKI Jakarta dan Jawa Barat. Kasus aktif ini melonjak sejak awal Juni 2021 dan diyakini sebagai dampak dari mobilitas tinggi penduduk selama liburan lebaran dan ditambah pula dengan telah menyebarnya varian baru Covid-19, utamanya varian Delta asal India dan Alpha asal Inggris.

Lonjakan Eksponensial

Lonjakan pandemi pascalibur lebaran itu dimulai dari Kudus. Pada 10 Mei 2021, tiga hari jelang Idulfitri, sentra produksi rokok kretek di Jawa Tengah itu masih membukukan 116 kasus aktif Covid-19. Pada H+3 Idulfitri, kasus aktifnya melonjak. Persis pada hari H Idulfitri, yakni pada 13 Mei, angka sudah meningkat menjadi 151 kasus aktif. Kasus baru terus bermunculan dengan penambahan secara eksponensial, hingga pada 4 Juni kasus aktifnya sudah bertengger di level 1.457 kasus. Jadi, dalam tempo tiga minggu kasus aktifnya berlipat 10 kali.

Kudus terus mengalami lonjakan hingga mencapai puncaknya pada 13 Juni, dengan 2.342 kasus aktif. Beberapa hari kemudian sempat meledak lagi dengan lebih dari 400 kasus baru ditemukan dalam 24 jam. Memasuki minggu keempat Juni, kasus hariannya berfluktuasi meski terus cenderung menurun. Pada Minggu, 27 Juni 2021, kondisi mulai membaik.

Gejolak pandemi di Kudus itu diikuti  oleh daerah sekitarnya seperti Demak, Jepara, Pati, Grobogan, yang disusul ke tetangga yang lain, seperti Sragen dan Semarang. Pertengahan Juni, di Pati muncul klaster Dua Kelinci, industri  besar makanan olahan berbasis kacang-kacangan yang menyumbang 652 kasus positif Covid-19 dari karyawannya. Dari jumlah itu, 114 karyawan positif Covid-19 berasal dari Kudus.  

Ketika lonjakan terjadi, Labkesda Jawa Tengah dan Litbangkes Kementerian Kesehatan melakukan surveilans genom untuk memeriksa varian Covid-19 yang mengamuk di Kudus dan sekitarnya. Hasilnya, 28 dari 34 spesimen yang diteliti dengan whole genome sequencer teridentifikasi sebagai varian Delta asal India.

Hasil tracing Kemenkes menunjukkan bahwa pembawa varian Delta B-1617.2 itu adalah pekerja migran Indonesia (PMI) yang mudik ke Kudus. Mereka lolos dari skrining karena bergerak melalui jalur laut. Sebelum pulang ke Indonesia, mereka sempat singgah di India. Tak tertutup kemungkinan, ada pula sumber pembawa varian Delta yang belum terlacak.

Yang pasti, klaster Delta itu muncul di Kudus, cepat menyebar, dan menjadi varian dominan di sana. Mobilitas warga yang tinggi pada pra dan pascalebaran mempercepat penularannya. Walhasil, hanya dalam satu bulan (18 Mei–18 Juni), hampir 5.000 orang tertular dan korban meninggal tercatat 440 orang. Angka kematian di Kudus tergolong tinggi. Sampai 23 Juni, ada 12.673 orang yang positif  Covid-19, dan 1.041 orang (8,2 persen) meninggal.    

Namun, Kudus bukan satu-satu penyumbang varian Delta. Surveilans berikutnya menunjukkan ada 80 spesimen pasien Covid-19 yang membawa varian Delta dan tersebar di berbagai tempat. Varian Delta itu sendiri sudah masuk ke Indonesia sejak Februari.

Serangan 5-6 Minggu

Secara umum, gelombang serangan Covid-19 itu membentuk kurva bak piramid yang terjal. Cepat naik dan cepat turun. Ketika virus menyebar dari orang ke orang, banyak pula yang hanya terciprat  koloni virus dalam jumlah kecil, dosis rendah, yang justru malah seperti antigen vaksin, yang dapat menstimulasi antibodi. Maka, akan terbentuk herd imunnity (kekebalan komunitas) di sekitar jalur pelintasan virus.

Titik kulminasi terjadi ketika laju transmisi itu sebanding dengan herd imunnity yang bisa terbentuk. Virus semakin sulit menemukan inang baru dan karenanya laju transmisinya pun menurun. Bahkan, menurun tajam. Begitu yang disampaikan Dr Zoe McClaren, pakar epidemiologi dari University  of Maryland, dalam opininya di New York Times, 26 April 2021.

Pada titik kulminasi itu virus sulit menambah korban melebihi dari hari-hari sebelunya. Maka, angka penambahan kasus baru mulai menyusut. Imunitas alamiah yang terbentuk dari hasil cipratan  virus ini cukup efektif, namun seperti terjadi di Kudus, menimbulkan korban besar. Labih lanjut, bila herd imunnity itu tak cukup besar, ledakan pandemi bisa terjadi lagi.

Bupati Kudus HM Hartopo tak mau kecolongan lagi. Herd imunnity alamiah tidak dapat diandalkan sepenuhnya. Vaksinasi menjadi jawabannya. “Kami menyambut baik percepatan vaksinasi,” ujarnya. Bupati Hartopo masih harus pontang-panting memastikan PPKM Mikro bisa berjalan baik. Belum lagi urusan penyelenggaraan pelayanan medis yang tak boleh kendor.

Tak kurang dari 80 desa di Kudus tergolong zona merah, dan di dalamnya ada banyak RT yang harus diisolasi. Ia bersyukur, gerakan Jogo Tonggo (Menjaga Tetangga) sudah bisa berjalan. Lewat gerakan itu, masyarakat mau bergotong-royong membantu warga tidak mampu yang harus menjalani isolasi mandiri. “Kekuatan Jogo Tonggo itu karena inisiatif dari warga masyakarat sendiri, pemerintah cuma mendorong,” katanya.

 

 

Penulis : Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari