Usaha batik tidak lagi identik diproduksi di Jawa. Papua pun sudah mulai merambah produk yang telah diakui oleh Unesco sebagai warisan dunia ini. Ada 200 lebih motif yang siap dipilih untuk oleh-oleh saat PON XX digelar pada Oktober nanti.
Lenggak-lenggok perempuan cantik dan laki-laki ganteng berpasangan bergerak memeragakan busana di atas catwalk. Suasana sedikit magis, disertai narasi tentang profil batik yang dikenakan para peragawan-peragawati tersebut mengenai makna dan latar belakang motif.
Ada batik dengan motif dayung, motif burung cenderawasih, motif ukiran kayu, dan sebagainya. Di akhir acara diadakan lelang batik-batik tersebut. Puluhan juta diraup dari acara itu.
Ya, itu peragaan busana batik yang pernah saya ikuti, pada Agustus 2007, saat awal saya datang menjadi jurnalis di Jayapura. Undangan meliput fashion show batik Port Numbay di hotel termegah di Kota Jayapura merupakan pengalaman pertama kalinya. Yang tak disangka, pemilik acara itu adalah laki-laki asli Port Numbay, bernama Jimmy Hendrick Afaar.
Jimmy Hendrick Afaar memulai usahanya sejak 21 April 2007. Awal berbisnis batik, Jimmy mengaku sudah tertarik pada beragam corak batik khas Jawa, dan dia pun memutuskan belajar membatik di Pekalongan. Dari kota asalnya Jayapura, Jimmy berhasil membuat terobosan baru, yaitu membuat batik Port Numbay dan telah mematenkannya sebagai salah satu 'kain' khas Papua. Port Numbay adalah nama lain dari Kota Jayapura.
Keunikan batik Port Numbay adalah adanya perahu dan dayung khas Sentani, Jayapura. Selain itu, dia juga mengambil motif ukiran kayu dan tifa yang khas dari sejumlah suku Papua lainnya.
Bisnis batiknya diawali dengan memproduksi batik tulis tangan. Dalam sebulan Jimmy bisa memproduksi batik yang dikerjakan dengan tangan atau batik tulis sebanyak 50 lembar per bulan. Dia mempekerjakan 15 orang pegawai yang terdiri mama-mama tetangganya.
Bisnisnya berkembang pesat, Jimmy merambah ke model batik cap yang dikerjakan oleh para pria dan berhasil memproduksi 80 lembar per bulan. Usaha Kecil Menengah (UKM) Jimmy terus berkembang, berkat bantuan dari salah satu pengrajin atau warga asli Jayapura bernama Salomina. Baginya motif yang digoreskan, tidak sekadar dekorasi pada kain. Setiap motif dengan warna tertentu memiliki makna tersendiri.
Salomina adalah salah satu dari 25 pembatik aktif dan terlama di sanggar asuhan Jimmy. Warga Abepura itu mulai belajar membatik pada 2007 dan kini dia sudah melatih warga lain untuk membatik juga.
Jimmy menilai, batik Port Numbay punya masa depan cerah. Melalui inovasinya, Jimmy berharap batiknya dapat dikenal luas sampai seluruh daerah Papua, bahkan ke mancanegara.
Usaha batik tidak lagi identik dan melulu diproduksi di Jawa. Papua pun sudah mulai merambah produk yang telah diakui oleh Unesco sebagai warisan dunia ini. Salah satunya melalui kerajinan Batik Port Numbay.
Batik Port Numbay memiliki standarisasi tersendiri. Untuk menjaga mutu produknya, Jimmy pun tak segan-segan mendatangkan pelatih dari Jawa, khususnya Yogyakarta, untuk melatih para pekerjanya. Ia juga mengirimkan para pekerjanya ke Jawa. Pelatihnya didatangkan dari balai pelatihan batik di Yogyakarta.
Karyawan lak-laki mengerjakan batik cap sedangkan perempuan menggarap batik tulis yang memang membutuhkan ketelitian dalam pengerjaannya. Dari 15 karyawannya itu, tiap bulan produksi batik Jimmy mencapai 2.000 potong batik cap dan 16 potong batik tulis berbahan sutra dan katun. Batik produknya pun sudah mencapai Surabaya dan Jakarta.
Sebelum menekuni batik, Jimmy pernah bergabung dengan desainer Poppy Dharsono. Dalam memproduksi batik, dia lebih memilih batik berbahan dasar katun ketimbang sutra, mengingat iklim di Papua yang panas. Sedangkan sutra ditujukan bagi konsumen yang berkantong lebih. Dan pengerjaan bahan sutra lebih lama, memakan waktu 3 bulan.
Lebih dari sekadar usaha, melalui batik buatannya, Jimmy mengaku bisa memberitakan tentang keindahan alam, pariwisata, hingga budaya Papua. Untuk memperkenalkan produknya, Jimmy mengikuti berbagai pameran. Berkat pameran pula ia diundang oleh perancang Italia berkunjung ke negeri pizza itu.
Dengan mengusung keragaman alam, budaya, serta cerita rakyat, Papua melalui tangan Jimmy sudah mengoleksi sekitar 200 motif. Banyaknya motif ini karena setiap suku yang ada di Papua memiliki budaya dan kebiasaan berbeda. Nama motif batik ini disesuaikan dengan nama suku seperti Batik Kamoro, Amugme, Honay, Asmat, Sentani, Kayu Pulau, atau Griminawa. Ciri khas lain Batik Papua adalah penggunaan dominan warna-warna terang, seperti kuning, hijau, putih, merah, dan biru laut.
Kendati sejak dua tahun terakhir sibuk mengawal atlet tim voli putra indoor dari Papua yang melakukan training centre (TC) di Bandung dalam menghadapi PON XX, Jimmy Hendrick mengaku produksi batiknya tetap berjalan dan bisa dimonitor dari jauh. “Batik produk saya tetap batik dengan beraneka corak motif yang akan kami perkenalkan kepada wisatawan dan wisatawan PON XX,” tulisnya dalam pesan singkat via Whatsapp.
Jimmy menjelaskan, harga untuk dua meter kain batik tulis karyanya di jual Rp600.000 per potong, dan yang ukuran 2,5 meter dibanderol dengan harga Rp650.000 per potong. Sedangkan yang 3 meter dijual Rp700.000 per potong.
Terkait produktivitas batiknya per bulan, Jimmy mengatakan, untuk yang berukuran dua meter pihaknya bisa memproduksi hingga 25 potong. Lalu, yang 2,5 meter 20 potong dan yang 3 meter hanya bisa diproduksi 10 potong.
Batik memang tak cuma ditemui di Indonesia, selain Afrika ada pula di Malaysia, Jepang, Tiongkok, India, Jerman, dan Belanda. Seni pewarnaan kain adalah tradisi kuno. Penemuan di Mesir menunjukkan bahwa teknik ini telah dikenal sejak abad keempat sebelum Masehi.
Jadi ketika Anda datang ke acara PON XX Jayapura, Mimika, dan Merauke, harus mempertebal kantong agar bisa beli banyak oleh-oleh.
Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari