Indonesia.go.id - Ke Wamena Mereka Kembali

Ke Wamena Mereka Kembali

  • Administrator
  • Rabu, 16 Oktober 2019 | 03:45 WIB
KONFLIK PAPUA
  Sejumlah polisi menyapa warga saat patroli keamanan di Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Sabtu (12/10/2019). Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Kota Wamena mulai pulih. Tapi masih sepi. Dari 41 ribu penduduk, 11 ribu mengungsi. Polisi terus mengejar para dalang. Aksi massa diorkrestasi dari LN, dilaksanakan organ bawah, termasuk kelompok bersenjatanya.

Dengan mulus Hercules C-130 TNI-AU itu mendarat di Bandar Udara Wamena. Pesawat berkulit loreng bernomor registrasi A-1336 itu langsung meluncur ke apron, mengambil posisi parkir, mematikan mesin lalu, dan membuka ramp door, pintu besar di ujung belakang kabin. Dari sana, 93 orang pengungsi turun untuk kembali pada kehidupan mereka di Kota Wamena. Bersama para pengungsi itu terdapat ada pula 21 prajurit Zipur.

Rombongan yang mendarat di Bandara Wamena pada Sabtu (12/10/2019) itu menandai adanya arus balik ke Wamena, kota sejuk di Lembah Baliem, yang berada di ketinggian sekitar 1.500 meter dari permukaan laut itu. Hingga hari H+20 pascakerusuhan pada 23 September lalu, baru sekitar 300 pengungsi yang kembali ke Wamena. Sebagian besar kaum laki-laki. Mereka datang diiringi pasukan Zeni TNI yang akan diterjunkan untuk membantu merehabilitasi kota yang rusak akibat kerusuhan.

Lebih dari 200 personel Zipur telah berada di Wamena, Ibu Kota Kabupaten Jayawijaya. Wamena sendiri telah mulai bangkit menyembuhkan lukanya. Puing-puing kebakaran telah dibersihkan.

Pasar mulai berdenyut meskipun kehilangan ratusan kiosnya. Pelayanan di kantor-kantor pemerintahan sudah mulai normal. Sekolah-sekolah mulai dibuka meski banyak  siswa dan guru belum hadir. Maklum, dari sekitar 41 ribu penduduk Wamena, sekitar 11 ribu (umumnya pendatang) pergi mengungsi.

Untuk menandai pulihnya situasi, Menko Polhukam Wiranto berkunjung ke Wamena (8/10/2019), dua hari sebelum mendapatkan serangan dari penganut aliran Islam radikal di Menes, Banten. Menko Wiranto didampingi Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahyanto, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, serta sejumlah menteri. Pesan yang dibawa Menko Wiranto adalah Wamena mulai normal, dan para pengungsi telah siap kembali. Pemerintah tak ingin trauma kerusuhan itu berlarut-larut.

Amuk massa itu sendiri meledak pada Senin pagi 23 September lalu. Didahului oleh hoaks ada tindakan berbau SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), terhadap seorang siswa SMA PGRI  asli Papua oleh gurunya (pendatang). Apa yang disebarluaskan melalui media sosial sebagai tindakan rasis itu, menurut Tim Komnas HAM yang telah melakukan investigasi, bermula kasus salah dengar dari siswa pada sebuah jam pelajaran pada hari Rabu 18 September.

Menurut Komnas HAM, permintaan sang guru agar siswa membaca “keras” didengar sebagai ‘kera’, kata yang dianggap melecehkan. Tidak ada insiden apapun. Tapi, tiga hari berselang  beberapa orang datang ke SMA PGRI dan memprotes apa yang mereka anggap sebagai tindakan rasis itu. Pihak sekolah pun langsung mengklarifikasi dengan menghadirkan guru yang bersangkutan dan sejumlah siswa. Mestinya, urusan selesai, karena semua pihak memahami sesuai konteks, guru meminta siswa membaca lebih keras. Pemrotes bisa menerima.

Namun, di luaran hoaks tersebar semakin masif, dibumbuhi agitasi-agitasi panas, bahkan persiapan aksi massa. Kerusuhan pun meledak setelah aksi demo itu berubah menjadi aksi perusakan, pembakaran, bahkan penyerangan fisik pada warga pendatang. Sejumlah warga mengalami penganiayaan berat atau terjebak dalam rumah-rumah mereka yang terbakar.

Diselamatkan Mama-Mama

Aksi kerusuhan itu mengakibatkan 32 orang tewas (dewasa dan anak-anak), serta ratusan orang lainnya mengungsi. Ratusan jiwa lainnya terselamatkan dari amuk massa oleh aksi yang berani dari mama-mama (kaum ibu), para tokoh adat, dan pemimpin gereja setempat. Mereka terlindung di balik dinding gereja, rumah tokoh adat dan honai (rumah tradisional) yang dijaga mama-mama Wamena.

Kota Wamena lumpuh, babak belur. Sekitar 450 ruko terbakar habis dan sebagian lain rusak berat. Tidak kurang 165 rumah hangus total, banyak lainnya rusak dan dijarah. Ada 10 kantor pemerintah yang rusak berat,  seperti kantor Sekretariat Daerah, Badan Pengelola  Keuangan, Bappeda, Inspektorat Kabupaten, Dinas Komunikasi dan Informatika, Kantor Satpol PP, Kantor Badan Lingkungan Hidup, PLN, Kantor Urusan Agama, dan Dinas Perhubungan.

Sebanyak 34 bangunan pemerintah lain mengalami kerusakan ringan-sedang, termasuk Terminal Bandara Wamena dan 26 gedung sekolah. Tiga hari setelah Wamena rusuh, giliran  Distrik Ilaga, yang  berjarak 140 km dari Wamena, dikoyak oleh aksi kekerasan dari KKB (Kelompok  Kriminal Bersenjata) pimpinan Penni Murib dan Lekakak Tanggelen.

Kelompok yang secara laten beroperasi di kawasan hutan pegunungan Kabupaten Puncak itu menyusup masuk Ilaga, kota distrik yang menjadi ibu kota kabupaten, dan menyebar teror.

Dua orang tukang  ojek asal Sulawesi Selatan ditembak mati di pinggiran Ilaga, Kamis (26/9/2019).

Dua hari berikutnya, seorang pemilik kios di dekat Bandara Aminggaru, Ilaga, didatangi oleh dua orang bersenjata pistol yang menembaknya di tengah keramaian. Usai menembak korbannya, dengan tenang mereka menyebut dirinya saudara kandung Lekakak Tanggelen dan anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Teror itu membuat puluhan warga Ilaga, umumnya pendatang, ketakutan. Sebagian mereka mengungsi ke Timika, melalui jalur udara. Polisi dibantu satuan TNI mencoba menangkap kelompok bersenjata itu, bahkan terlibat aksi kontak tembak. Tapi gerombolan ini lolos tanpa meninggalkan jejak.

Mengejar Para Dalang

Kapolri Jenderal Tito Karnavian meyakini, aksi kerusuhan di Wamena dan aksi teror di Ilaga itu saling berhubungan. Bahkan, kedua aksi itu terkait dengan serentetan aksi massa di Kota  Jayapura, Merauke, Fakfak, Nabire, Sorong, Timika, dan beberapa kota kabupaten lainnya, termasuk demo yang berujung aksi kekerasan di Dogiyai, sepanjang paruh kedua bulan Agustus.

Tito Karnavian, yang juga mantan Kapolda Papua itu, meyakini pula bahwa aksi-aksi massa itu telah dikondisikan dengan menggerakkan sebagian mahasiswa Papua di berbagai kota di Indonesia, terutama di Jawa, untuk memantik konflik dengan warga setempat dengan isu “merah putih” yang akan sensitif di sekitar peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus.

Insiden memang sempat muncul di Malang dan Surabaya yang membuahkan kata kunci “monyet”.  Makian rasis itu kemudian dimanfaatkan untuk memicu aksi massa di Papua.

Namun, Tito  juga mellihat bahwa keseluruhan aksi itu diorkestrasikan oleh ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) yang dimotori oleh Benny Wenda, serta dibantu oleh organ pendukungnya seperti KNPB (Komite Nasional Papua Barat) yang merekrut sejumlah mahasiswa Papua dari  berbagai kota di Indonesia sebagai agennya. Kedua organ ini menjalin kerja sama dengan dengan gerombolan milisi i KKB pimpinan Egianus Kogoya di Nduga serta KKB pimpinan Penni Murib dan Lekakak Tanggelen di Kabupaten Puncak Jaya.

Sejak awal Agustus lalu, Benny Wenda, 45 tahun, narapidana politik yang kabur dari penjara pada 2002 dan memperoleh suaka di Inggris itu, telah mengembus-embuskan isu pemisahan Papua. Ia memainkan isu itu melalui organisasi negara-negara kecil di Pasifik. Perlu ada huru-hara di Papua, dan menciptakan martir agar isu pelanggaran HAM bisa digulirkan. Harapannya, isu ini bisa menggelinding sampai Sidang Umum PBB yang dihelat pada September.

Manuver Benny Wenda kandas. Majelis Umum PBB tak punya alasan mengagendakan isu Papua. Namun, kerusuhan di berbagai kota telanjur pecah. Potensi adanya kerusuhan susulan tentu masih ada. Penguatan penjagaan pun dilakukan oleh jajaran TNI-Polri. Bahkan, untuk Wamena dan distrik sekitarnya TNI-Polri menerjunkan 6.000 personel.

Sebanyak 95 orang telah ditangkap dan dinyatakan sebagai tersangka provokator kekerasan yang dalam aksi-aksinya di seluruh Papua. Sebagian mereka menyamar sebagai pelajar SMA, dengan seragam putih-abu-abu, di saat beraksi di lapangan. Sepuluh di antaranya dianggap memprovoksi aksi kekerasan di Wamena. Tiga nama lain, yang disebut sebagai dalang dalam kerusuhan Wamena, sudah ada di tangan polisi dan akan terus dicari.

Toh, agen-agen kelompok separatis itu belum sepenuhnya tiarap. Aksi teror terus dilakukan. Korbannya Deri Daru Padang dan Bunga Simon, keduanya pekerja bangunan asal Toraja, Sulawesi. Mereka diserang dengan pisau oleh dua orang tidak dikenal saat berboncengan dengan sepeda motor melintasi Jembatan Mouma Wamena, Sabtu (12/10/2019) sore. Deri meninggal di RSUD Wamena karena luka dalam di perut dan Simon terluka parah. Tugas TNI-Polri masih panjang dan tidak mudah. (P-1)