Industrialisasi ialah kata-kunci negara berkembang mengejar ketertinggalan. Tak kecuali, Indonesia. Industrialisasi utamanya sektor manufaktur nonmigas harus jadi keniscayaan pembangunan ekonomi nasional. Terlebih, mengingat populasi penduduk yang besar, suka atau tidak suka Indonesia harus menempuh rute jadi negara industri.
Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, BPS memprediksi jumlah penduduk Indonesia bakal meningkat. Dari 238,5 juta penduduk di tahun 2010 menjadi 305,6 juta penduduk di tahun 2035. Pada 2017 jumlah penduduk mencapai 261,8 juta jiwa. Sepanjang 2020--2030 diprediksi terjadi bonus demografi.
Jumlah penduduk Indonesia sebagai terbesar keempat di dunia jelas sebuah tantangan tersendiri. Bagaimana mendesain populasi penduduk yang besar menjadi keunggulan komparatif ialah kata kunci penting kini dan ke depan. Selain sebagai kekuatan pasar domestik, fenomena bonus demografis di sepanjang 2020--2030 juga dapat jadi momentum pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Membaca sejarah, kita tahu sektor industri memiliki signifikansi bagi pertumbuhan PDB suatu negara. Orde Baru mengawalinya dengan desain kebijakan ISI (industri substitusi impor). Namun sejak awal 1980-an desain strategi kebijakan industrial secara bertahap bergeser ke IOE (industri orientasi ekspor). Industrialisasi yang dicanangkan Orde Baru boleh dikata berhasil merombak struktur ekonomi Indonesia. Perubahan struktur ekonomi ini terlihat dari sektor-sektor ekonomi yang berkontribusi pada PDB.
Jika pada 1965 kontribusi sektor pertanian masih sekitar 56% dari PDB, maka sebelum memasuki krisis ekonomi 1997 tercatat tinggal tersisa 16% PDB. Sedang industri manufaktur selama periode 1980--1997, pertumbuhannya rata-rata mencapai 10,9%. Angka ini nisbi lebih tinggi ketimbang pertumbuhan ekonomi pada periode itu, yang rata-rata tumbuh kisaran 6,7%. Selain itu, jika pada 1967 sektor ini baru menyumbang 7,5% dari PDB, maka pada 1997 kontribusinya mencapai 26,8%.
Sayangnya, proses industrialisasi ini terinterupsi krisis ekonomi 1997--1998. Krisis disinyalir disebabkan kelemahan struktural perekonomian nasional, baik itu terkait sistem keuangan atau perbankan maupun corak kapitalisme kronisme—atau meminjam istilah Kunio Yoshihara, “kapitalisme semu”.
Pasca-Orde Baru, kontribusi sektor manufaktur pada PDB sempat melejit naik hingga 29% pada 2001. Namun untuk selanjutnya trennya terus menurun, dan boleh dikata belum sepenuhnya pulih dari segi output produksi dan rasio kontribusinya atas PDB.
Sepanjang 2014 – 2018, pertumbuhan industri pengolahan nonmigas berkisar rata-rata 4,9%. Potret detail sumbangan sektor ini terhadap PDB ialah:
(Bahan Info Grafis)
- 2014: 1.637,5 triliun.
- 2015: 1.720,2 triliun.
- 2016: 1.796,4 triliun.
- 2017: 1.883,4 triliun.
- 2018 Semester I: 969,3 triliun.
Kebijakan Industri Nasional
Indonesia saat ini adalah kelompok negara berpendapatan menengah tentu masih mengharapkan sektor Industri manufaktur dapat meningkatkan perannya pada pembentukan PDB. Dalam kerangka itu, DPR dan Pemerintah telah menyusun UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. UU ini sebagai pengganti UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian yang telah kadaluwarsa.
Menindaklanjuti amanat UU Perindustrian “baru” itu, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015 – 2035. Dikenal sebagai PP RIPIN, pemerintah telah menetapkan pedoman bagi pemerintah maupun pelaku industri dan usaha sebuah kerangka perencanaan dan pembangunan industri nasional untuk periode 20 tahun. Melalui skema PP RIPIN, pemerintah menetapkan 10 Industri Prioritas:
(Bahan Info Grafis)
- Industri Pangan
- Industri Farmasi, Kosmetik, dan Alat Kesehatan.
- Industri Tekstil, Kulit, Alas Kaki, dan Aneka.
- Industri Alat Transportasi.
- Industri Elektronik dan Informatika (ICT).
- Industri Pembangkit Listrik.
- Industri Barang Modal, Komponen, Bahan Penolong, dan Jasa Industri.
- Industri Hulu Agro.
- Industri Logam Dasar dan Bahan Galian Bukan Logam.
- Industri Kimia Dasar Berbasis Migas dan Batubara.
Bermaksud memperjelas arah implementasi di lapangan, pemerintah mengeluarkan beberapa regulasi terkait. Awal Februari 2018, keluarlah Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2018 tentang Kebijakan Industri Nasional 2015 – 2019.
Kebijakan industri nasional telah menetapkan beberapa sasaran pembangunan di sepanjang 2015 – 2019, antara lain, meningkatkan laju pertumbuhan 5,5% - 6,20% dengan kontribusi 18,2% - 19,4% atas PDB; mengurangi ketergantungan impor (bahan baku, barang penolong, barang antara); perluasan dan pendalaman industri dalam kerangka membangun ‘industrial linkage’ hulu ke hilir; menguatkan struktur industri nasional; meningkatkan kapasitas produksi dan ekspor serta daya saing nasional melalui inovasi dan pemanfaat teknologi. Selain itu, sasaran kebijakan ini juga dimaksudkan menciptakan lapangan kerja untuk menyongsong era bonus demografis.
Bergerak lebih maju. Pada 17 September 2018 Presiden Joko Widodo – Jusuf Kalla kembali mengeluarkan beleid baru, Keputusan Presiden No. 24 Tahun 2018 tentang Tim Nasional Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri atau populer disebut Tim Nasional P3DN. Tujuan utamanya ialah mempercepat dan mengawal implementasi TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) dalam semua sektor industri.
Beberapa waktu sebelumnya, pemerintah juga sudah mendorong regulasi di tingkat teknis. Yaitu menerbitkan Permenperin No.5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Permenperin No.34/M-IND-/PER/2017 tentang Industri Kendaraan Bermotor Roda Empat atau Lebih.
Hal yang sama juga sudah dilakukan pada industri ponsel pintar 4G. Kebijakan ini tertuang dalam Permenperin No.65 Tahun 2016 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai Komponen Dalam Negeri Produk Telepon Seluler, Komputer Genggam, dan Komputer Tablet, yang kemudian direvisi menjadi Permenperin No.29 Tahun 2017.
Tak kecuali, industri makanan dan minuman serta tekstil dan pakaian serta industri lainnya. Jauh sebelum ini, pemerintah pun telah mengeluarkan regulasi teknis, Permenperin No 16/M-IND/PER/2/2011 tentang Ketentuan Tata Cara Perhitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri.
Dalam konteks makroekonomi, TKDN dilakukan untuk mengurangi ketergantungan akan produk-produk impor. Sedangkan bagi industri sendiri, kebijakan TKDN dirumuskan oleh pemerintah dalam rangka menguatkan, memperluas, dan memperdalam struktur industri nasional. Baik itu terkait strategi ISI—untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik—maupun terkait strategi IOE—untuk meningkatkan nilai ekspor.
Selain itu, harapan lainnya ialah, melalui skenario kebijakan TKDN maka terjadi alih teknologi beserta alih kompetensi dalam rangka meningkatkan daya saing tenaga kerja. Menindaklanjuti hal ini, pemerintah mendorong kebijakan pendidikan vokasi berbasis ‘link and match’ dengan kebutuhan industri. Pendidikan vokasi ialah sebuah terobosan kebijakan sebagai upaya mempersiapkan kompetensi masyarakat memasuki pasar tenaga kerja ke depan.
Making Indonesia 4.0
UNIDO (United Nation Industrial Development Organization), sebuah badan PBB untuk pengembangan industri, mencatat industrialisasi di Indonesia termasuk kategori negara semi-industri. Menurut data Pemerintah, industri nasional di Indonesia secara umum juga masih menggunakan teknologi Industri 1.0 dan Industri 3.0.
Terkait bonus demografis ke depan, muncul kekhawatiran bahwa Revolusi Digital atau Industri 4.0 akan berdampak memperkecil penciptaan lapangan kerja di sektor industri. Mengantisipasi hal itu, pemerintah telah menyusun inisiatif “Making Indonesia 4.0”. Kebijakan ini dirumuskan untuk mengimplementasikan strategi dan Peta Jalan Industri 4.0 di Indonesia. Peta Jalan ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Dari institusi pemerintah, asosiasi industri, pelaku usaha, penyedia teknologi, maupun lembaga riset dan pendidikan.
Peta Jalan Making Indonesia 4.0 memberikan arah dan strategi yang jelas bagi pergerakan industri Indonesia di masa datang. Ada optimisme kuat. Bahwa, jika Indonesia secara dini berhasil mengantisipasi persoalan transisi ini, maka Industri 4.0 bakalan memberikan peluang revitalisasi sektor industri manufaktur. Selain kebijakan ini diharapkan dapat membuka lapangan pekerjaan tambahan hingga 10 juta, lebih jauh juga menjadi salah satu cara untuk mempercepat pencapaian visi Indonesia menjadi 10 ekonomi terbesar di dunia.
Indikasi adanya perbaikan sektor industri pengolahan nonmigas setidaknya tecermin dari kenaikan jumlah populasi pelaku industri dan serapan tenaga kerja. Jika pada 2014 tercatat 25.094 unit Industri Besar dan Sedang, maka pada 2017 bertambah jadi 30.992 unit. Sedangkan jika pada 2014 tercatat 3,52 juta unit Industri Kecil, maka pada 2017 bertambah jadi 4,49 juta unit.
Untuk pertambahan serapan tenaga kerja juga naik cukup signifikan. Dari data Sakernas BPS Agustus yang diolah Kementerian Perindustrian, tercatat sejak 2015 serapan tenaga kerja di sektor industri pengolahan nonmigas trennya naik. Jika pada 2015 tercatat menyerap tenaga kerja sebesar 15,54 juta, sekalipun tidak besar angkanya naik menjadi 15,87 juta pada 2016. Memasuki 2017 kenaikan serapan tenaga kerja tumbuh signifikan menjadi 17,56 juta. Sedangkan pada Semester I 2018, serapan tenaga kerja di sektor ini mencapai 17,92 juta.