Dalam ekosistem yang sehat, akan tersedia ikan pada jumlah optimal. Bila ekosistem itu rusak, ikan endemik tidak tumbuh dan ikan-ikan yang hidup bermigrasi dari satu spot ke spot lain, tak akan sudi berkunjung ke perairan Indonesia.
Sebagaimana daratan, kawasan laut juga memerlukan perlindungan dari potensi kerusakan akibat ulah manusia. Sebagai negara kepulauan, Indonesia bertanggung jawab memberikan perlindungan bagi kawasan laut seluas 3,25 juta km2, yang mengepung daratan seluas 1,92 juta km2 dengan 17,5 ribu pulau di dalamnya. Begitu menurut dokumen yang disusun berdasarkan Konvensi PBB tentang hukum laut alias United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), yang diteken pada 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica.
Urusan konservasi kawasan laut itu pun kini menjadi pekerjaan rutin di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Konservasi laut ini telah menjadi perintah undang-undang, seperti termuat dalam UU nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan; UU nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; dan UU Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan. Belum lagi konvensi internasional tentang biodiversitas dan perubahan iklim.
Amanatnya jelas. Menurut konvensi internasional, sekitar 10 persen kawasan laut Indonesia harus mendapat perlindungan untuk melestarikan fungsi ekosistemnya. Pemerintah Indonesia pun telah meratifikasinya. Sesuai amanat itu, Pemerintah Indonesia menargetkan bahwa tahun 2030 nanti 30 juta hektare (325 ribu km2) daerah perairan laut Indonesi telah mendapatkan perlindungan hukum, yang bisa menjamin bahwa aktivitas manusia di situ dibatasi untuk mendukung pelestariannya.
Pada tahun 2022 ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan tindakan konservasi pada wilayah laut seluas 2 juta hektare (20 ribu km2). Realisasinya, sampai akhir semester satu 2022, menurut Victor G Manoppo selaku Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Ruang Laut KKP, sudah mencapai 1,46 juta hektare (73 persen). Victor Manoppo yakin, target konservasi 32,5 juta hektare di tahun 2030 akan tercapai.
‘’Saat ini pun kita sudah mencapai 28,4 juta hektare," ucap Victor dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (20 Juli 2022). Ia menambahkan, unsur konservasi ini menyangkut perlindungan ke ekosistem laut, pesisir, dan pantai (utamanya pulau kecil), sekaligus membudidayakannya sebagai area serapan karbon (carbon zinc area) yang juga memberikan manfaat ekonomi. ‘’Jadi, kita mencoba generate manfaat ganda itu,’’ kata Victor Manoppo pula.
Dirjen Pengelolaan Ruang Laut itu juga memberikan catatannya bahwa mengkonservasi ekosistem laut itu pada akhirnya akan memberikan manfaat bagi nelayan dan pelaku usaha penangkapan ikan laut. Dalam ekosistem yang sehat, akan tersedia ikan pada jumlah optimal, dan bisa dimanfaatkan sampai ambang batas lestarinya.
Bila ekosistem itu rusak, ikan endemik tidak tumbuh dan ikan-ikan yang hidup bermigrasi dari satu spot ke spot lain, tak akan sudi berkunjung ke perairan Indonesia. ‘’Ikan-ikan itu akan lari ke (laut) tetangga kalau lingkungan kita rusak,’’ ujar Victor.
Area konservasi seluas 28,4 juta hektare itu mencakup lebih dari 410 situs yang tersebar di berbagai tempat di seluruh tanah air. Yang terpopuler, antara lain, Taman Nasional Komodo di Flores Barat, yang meliputi area 1.817 km2, termasuk di dalamnya daratan 603 km2. Situs ini ditetapkan sebagai Taman Nasional sejak 1980 untuk melindungi populasi reptil purba komodo dan segenap ekosistem alamiahnya.
Pada 1991, Taman Nasional Komodo ditetapkan sebagai salah satu Situs Warisan Dunia oleh Unesco. Dalam pengelolaannya, Taman Nasional Komodo ini masuk dalam kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Di perairan Sulawesi Tenggara ada Taman Nasional Wakatobi, seluas 1,39 juta hektare (13.900 km2). Situs ini adalah salah satu ekosistem paling kaya di dunia, dan penyelam menjulukinya sebagai surga di bawah laut. Di Sulawesi Utara ada Taman Nasional Bunaken yang juga kaya akan terumbu karang dan keragaman biota lautnya. Kawasan konservasinya seluas 89.000 ha (890 km2) dengan 3 persen di dalamnya berupa daratan. Taman Nasional Wakatobi ini menjadi tanggung jawab KKP.
Di bawah kepala burung Papua Barat ada Suaka Alam Perairan (SAP) Raja Ampat, seluas 60.000 ha (600 km2) yang di dalamnya ada gugusan empat pulau eksotis, yakni Pulau Waigeo, Pulau Misool, Pulau Salawati, dan Pulau Batanta. Bukan hanya keindahan bawah laut Raja Ampat yang memabukkan, di atas perairan itu juga terhampar bentang alam yang luar biasa.
Secara hukum di Indonesia dikenal beberapa kategori kawasan konservasi laut. Kategori pertama, disebut taman nasional. Fungsinya, mempertahankan dan meningkatkan kualitas keanekaragaman hayati. Penetapan kategori taman laut dilakukan dengan kriteria antara lain memiliki perairan luas yang mendukung proses ekologis secara alami dan dapat dikelola secara berkelanjutan; berpotensi sebagai warisan dunia alami.
Taman Nasional ini juga menyimpan biodiversitas air yang kaya, unik, punya daya tarik tinggi, serta berpeluang besar menunjang pengembangan pariwisata alam perairan yang berkelanjutan. Ia juga harus mempunyai luas wilayah pesisir dan/atau pulau kecil yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Kondisinya masih alamiah. Cocok untuk kegiatan penelitian, pendidikan selain bisa dimanfaatkan sebagai destinasi ekowisata.
Berikutnya ada kategori suaka alam perairan (SAP). Fungsinya, mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumber daya ikan. Kategori suaka ditetapkan, antara lain, dengan kriteria memiliki satu jenis atau lebih ikan yang khas, unik, langka, endemik, dan/atau yang terancam punah, dan karenanya ia memerlukan perlindungan untuk keberlangsungan perkembangannya secara alamiah.
Masih ada enam jenis lainnya, yakni kawasan konservasi perairan daerah (KKPD), taman nasional perairan (TNP), taman wisata perairan (TWP), cagar alam laut, dan suaka margasatwa laut. Secara umum kawasan konservasi ini dimaksudkan bagi pelestarian alam lingkungan dan seisinya. Sebagai pengelolanya, sebagian adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sebagian lagi Kementerian LHK, dan sebagian lainnya pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Sakti Trengono berniat untuk memberdayakan situs-situs konservasi laut dan pulau kecil itu sebagai gudang karbon. Caranya, dengan mengembangkan situs-situs tersebut sebagai habitat yang ramah dan aman bagi pertumbuhan biota endemik, terutama terumbu karang, mangrove, dan padang lamun.
Dalam ekosistem yang sehat, setelah mangrove tumbuh di bibir pantai seraya menahan endapan lumpur, menjorok ke arah laut, ada perairan laut bening berkedalaman 1-6 meter dengan vegetasi khas di dasarnya. Itulah padang lamun. Selain menjadi sarang ikan untuk berpijah, padang lamun yang sehat memiliki keragaman vegetasi yang tinggi, dan secara keseluruhan bisa menyerap 6,6 ton karbon (setara 24,1 ton CO2) per tahun.
Serapan karbon itu terus terjadi hingga komunitas lamun itu mencapai formasi klimaksnya. Karbon itu sebagian besar tersimpan di dalam akarnya. Padang lamun ini akan ikut memberikan konstribusi bagi target pengurangan emisi karbon di Indonesia, bersama terumbu karang dan mangrove.
Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari