Sudah lebih dari 30 tahun Agus Basrawi merantau ke Jakarta. Ia merintis usaha satai madura mulai dari menggunakan gerobak. Dunianya adalah kerja keras, tujuh hari seminggu, tak ada hari libur, tidak ada waktu buat ongkang-ongkang kaki. Perjuangannya telah membuahkan hasil. Agus kini punya dua gerai satai, sebuah rumah tembok lantai dua di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, lengkap dengan sebuah Avanza yang biasa dioperasikan sebagai mobil rental.
Memasuki Ramadan 2020 ini omzet penjualan satai dan gulai kambing Agus anjlok 30 persen. Jelas, pandemi Covid-19 adalah biang keladinya. Penjualan secara online memang meningkat tajam, tapi tak cukup mengkompensasi susutnya penjualan secara offline. Banyak pelanggannya tak datang lagi, yang menurut Agus, akibat penghasilannya merosot.
Tapi bukan karena itu bila Agus Basrawi tidak berniat mudik ke kampung halamannya di Kecamatan Pademawu, Pamekasan, Madura. Selain ada larangan melakukan perjalanan mudik lebaran, Agus tak biasa melakukan perjalanan mudik Idul Fitri. “Kami toron-nya kalau lebaran haji. Idul Adha,” kata Agus.
Selama tinggal di Jakarta, ia hanya sekali dua melakukan perjalanan mudik pada Idul Fitri. Ia lebih menikmati perjalanan toron Idul Adha. Ketika itulah ia mengajak istri dan ketiga anaknya menjalani ritual sosial ke kampung asalnya. Dua tahun sekali. “Kalau wabah ini bisa cepat selesai, Insya-Allah, akhir Juli nanti kami mudik,” dia menambahkan. Sekali toron, dia akan menghabiskan waktu sebulan lamanya di kampung halaman.
Banyak warga migran (permanen atau musiman) asal Madura yang memilih toron di Hari Raya Idul Adha sebagaimana Agus Basrowi. Memang, arus mudik Idul Adha ke Madura itu tak seramai mudik Idul Fitri yang sampai memacetkan Jembatan Suramadu, yang menghubungkan Surabaya ke Madura.
Pada hari-hari menjelang Idul Fitri 2019, menurut catatan Dinas Perhubungan Jawa Timur, jumlah sepeda motor yang menyeberangi Jembatan Suramadu lebih dari 200 ribu unit. Belum mobil-mobil pribadi dan kendaraan umum. Namun, arus toron jelang Idul Adha juga tak kalah ramainya. Hanya saja, arus toron Idul Adha bisa dimulai beberapa hari sebelumnya, sementara untuk Idul Fitri lebih mepet ke hari H-nya.
Bagi warga Madura kebanyakan seperti Basrowi, bukan soal mana yang dianggap lebih mulia atau lebih utama, Idul Fitri atau Idul Adha. Tapi tradisi yang ia kenal selama ini begitu. Apalagi, sebagai pedagang belakangan ia lebih berhitung. Biaya perjalanan untuk Idul Adha lebih ekonomis, dan dia bisa memanfaatkan selisih biaya itu untuk mengoptimalkan ritual tradisinya di kampung halaman.
Tiga Hari Besar
Muhamad Djafar, dalam risalahnya di Jurnal el Harakah, 2012, terbitan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang, menyebutkan ada tiga hari besar Islam yang dirayakan secara khusus oleh masyarakat Madura, yakni Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha, dan Maulud Nabi. Nyanyian salawat di hari-hari besar itu seperti menjadi suara panggilan ibu untuk kembali ke kampung halaman.
Menurut Djafar, dalam risalahnya yang berjudul Tradisi Toron Etnis Madura itu, ritual yang terkait ke hari-hari besar itu sifatnya adalah ghoiru makdah, amalan yang tak diatur secara khusus dalam Kitab Suci maupun hadis/sunah. Berbeda dari ibadah makdah, seperti salat, puasa, tata cara pernikahan, yang segala rukun-rukunya telah diatur secara rinci.
Maka, dalam ritual ghoiru makdah seperti menyambut hari besar Islam itu, menurut Djafar, terbuka ruang bagi masuknya kultur lokal untuk mewarnainya. Hal itu yang terjadi pada masyarakat Madura, yang secara umum adalah umat Islam yang taat mengikuti ajaran Ahlus-sunnah wal Jamaah. Dengan demikian, ritual yang dibangun terkait perayaan hari-hari besar Islam itu, menurut Muhamad Djafar, adalah hasil konstruksi dari nilai agama, budaya, dan sosial.
Tak ada argumen khusus untuk mengutamakan salah satu dari tiga hari besar Islam itu. Namun, Idul Adha di Madura terasa begitu istimewa dibanding tempat lain, bahkan di Jawa Timur yang bertetangga dekat. Salah satu hal yang membentuk pandangan itu, menurut Djafar, kenyataan sosial dalam masyarakat Madura, yakni bahwa menjalankan ibadah haji adalah hal mulia dan terhormat. “Semua orang Madura ingin naik haji dan bangga menyandang predikat haji,’’ demikian Djafar menekankan.
Mengutip beberapa sumber, lebih jauh lagi Djafar menyatakan, ada sejumlah pandangan yang terus hidup di kalangan masyarakat, antara lain, rasa hormat kepada ulama, mengapresiasi capaian dalam pendidikan agama, tradisi menyumbang pembangunan musala atau masjid, menghormati hari-hari besar Islam, kerja keras, membangun kohesivitas sosial dalam komunitasnya.
Bagi Agus Basrawi, rangkaian ritual toron Idul Adha di desanya selalu terasa lebih menyentuh dan membahagiakan hatinya. Ia akan menumpahkan rindu pada ibunya, yang tinggal bersama kerabat. Agus dan keluarga juga mengunjungi kedua mertuanya di desa tetangga.
Masih banyak acara lainnya, seperti memanjatkan doa di makam ayah dan leluhurnya, menziarahi makam sejumlah ulama di Kecamatan Pademawu. Ia juga akan mengunjungi beberapa ulama terkemuka di sekitar desanya, menghadiri upacara selamatan di rumah keluarga atau handai taulan yang sedang menjalankan ibadah haji. Bila ada rezeki lebih, ia pun menyumbang ke masjid.
Pada Idul Adha Agus menyembelih kambing setidaknya dua ekor. Sebagian dibagikan ke fakir miskin, sebagian lainnya dimasaknya di rumah untuk dibawa makan bersama di masjid atau untuk dibawa sebagai terateran, buah tangan, ketika ia sowan mengunjungi ulama atau tokoh masyarakat di desanya, sebagai tanda hormat.
Menurut Agus, suasana Idul Adha di desanya lebih ramai ketimbang Idul Fitri. Para perantau mudik. Keluarga besarnya memilih berkumpul bereuni di hari-hari Idul Adha. Namun, ia mengakui bahwa yang memilih toron pada Idul Fitri pun semakin hari makin banyak.
Perkembangan itu tidak lepas dari kenyataan bahwa semakin banyak kaum migran Madura yang bekerja di sektor formal, menjadi staf atau profesional di perusahaan swasta, pegawai BUMN, atau di pemerintahan. Mereka tak punya banyak waktu untuk toron, kecuali di hari-hari libur resmi yang berlangsung di sekitar Idul Fitri.
Toron dan Ungghe
Masyarakat Madura termasuk etnis besar di Indonesia. Mengacu sensus 2010, populasinya sekitar 7,2 juta jiwa atau 3,03% dari jumlah penduduk Indonesia. Menempati peringkat keempat di bawah etnis Jawa, Sunda, dan Batak, tapi di atas jumlah Minang dan Bugis. Dari jumah 7,2 juta itu, hampir 60% hidup sebagai migran permanen.
Arus besar migrasi orang Madura sudah berlangsung sejak pertengahan abad 19, desakan populasi mulai terasa, sementara sumber daya alam (SDA) yang ada terbatas. Sebagian tanahnya tandus dan kering. Pada saat yang sama, kondisi ekonomi di Jawa mulai menggeliat berkat munculnya tanaman industri, seperti gula tebu, kopi, teh, karet, tembakau, indigo, dan seterusnya. Infrastruktur jalan raya, jalur kereta api, irigasi dan sejumlah industri juga ikut menambah kemakmuran di Jawa.
Warga Madura mulai bermigrasi ke Jawa Timur, ke Surabaya, Gresik, lalu ke Pasuruan, Probolinggo, Besuki, Bondowoso (daerah yang kini disebut Tapal Kuda). Dari situ kemudian masuk ke pedalaman seperti Jember, Malang, Lumajang, Jombang, dan seterusnya. Dari situlah tradisi migrasi terbentuk, bahkan ke seluruh Indonesia, terutama di era pascakemerdekaan.
Pada masa lalu, perjalanan migrasi ke Jawa, Gresik, Surabaya, atau ke daerah Tapal Kuda disebut ongghe yang artinya naik. Menurut Budayawan Madura D Zamawi Imron, ketika itu Jawa dianggap lebih tinggi derajatnya secara ekonomi. “Karena itu, saat ke Jawa disebutnya naik atau ongghe dan sewaktu pulang (ke Madura) disebutnya turun atau toron,” kata Zamawi, yang juga dikenal sebagai penyair berjuluk Celurit Emas itu seperti dikutip Jawa Pos Jumat (9/8/2019).
Tradisi toron itu dilakukan secara reguler baik oleh kaum migran musiman maupun yang permanen. Seperti laiknya kaum perantau lain di Indonesia, dari etnis apapun, perjalanan pulang ke kampung halaman adalah ritual tersendiri. Ada istilah nyambung bheleh di masyarakat Madura, yang artinya harfiahnya menyambung kekerabatan.
Pepatah itu, menurut Zamawi Imron, budayawan yang juga dosen di Universitas Negeri Trunojoyo Bangkalan, merefleksikan kohesi sosial dan gotong royong. Semangat ini juga bisa menjadi modal sosial bagi pekerja migran untuk berjuang di tanah rantau.
Bagi Agus Basrawi, perjalanan toron dan nyambung bheleh adalah dua hal yang bertautan. Maka ia mengajak seorang kemenakannya untuk membantunya menjalankan usaha. Ia mengajarinya mulai dari hal dasar, yakni memotong daging, menguntainya dalam tusuk sate, membuat bumbu, membakar, dan seterusnya. Ia berharap kemenakannya kelak bisa mandiri, seperti halnya anak sulungnya yang sudah bisa menjalankan satu gerai satainya.
Agus Basrowi juga berharap, anak dan kemenakannya bisa melanjutkan tradisi toron. Bila kelak tak bisa aktif berjualan, Agus berniat pulang kampung secara permanen, dan karenanya ia membangun rumah dengan tiga kamar tidur di sebelah rumah ibunya. Ia ingin menikmati hari tuanya di kampung kelahiran, seraya menunggu anak cucu menengoknya di hari-hari besar Islam.
Puluhan tahun di tanah ratau tak membuat Agus, dan mungkin jutaan kaum migran Madura lainnya, merasa terasing dari kampung halamannya. Ia seperti syair yang ditulis Zamawi Imron :
Akulah Darahmu
anak sulung yang sekaligus anak bungsumu
kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah
bahwa aku sapi karapan
yang lahir dari senyum
dan air matamu
Penulis : Putut Trihsodo
Editor: Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini