Cuaca ekstrem melanda daerah hulu Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel). Hujan lebat turun nyaris tanpa putus selama lima hari, 9 hingga 13 Januari lalu. Skalanya luas, intensitasnya hingga 461 mm dalam lima hari. Luar biasa. Padahal, secara rata-rata hanya 395 mm intensitas hujan yang turun sepanjang 31 hari pada Januari. Keruan saja, air meluap dan 11 dari kabupaten kota di Kalsel kebanjiran.
Sungai-sungai tidak sanggup menampung air, termasuk Barito, sungai terbesar di Provinsi Kalsel. Badan dipenuhi sesak dipenuhi air limpasan. Volumenya 2,08 miliar meter kubik air. Padahal, kapasitas tampung normalnya hanya 238 juta kubik. Walhasil, Sungai Barito dan anak sungainya meluapkan airnya ke tepian kiri dan kanannya, serta menimbulkan banjir di Kabupaten Hulu Utara, Hulu Selatan, Tapin, Barito Kuala, Banjar, dan Kota Banjarmasin.
Sungai Barito adalah sungai yang terpanjang dan terbesar di Pulau Kalimantan. Hulunya di hutan hijau Pegunungan Schwaner Kalimantan Tengah (Kalteng), dan ia mengalir sejauh 909 km menuju muara di Laut Jawa di kawasan Muara Banjar. Lebar sungai bervariasi, antara 650 meter hingga 800 meter dengan kedalaman rata-rata 8 meter.
Di bagian muaranya, lebar sungai mencapai 1 km. Ini membuatnya sebagai salah satu sungai terlebar di tanah air. Seperti dikutip dari laman Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Hutan Lindung Barito, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), DAS Barito adalah sebuah kawasan dengan cakupan 81 ribu km persegi (km2).
Dengan semua anak sungainya di hulu, DAS Barito meliputi sebagian wilayah Kalteng, Kaltim, Kalbar, dan Kalsel. DAS Barito ini mencakup 183 aliran sungai, 12 di antaranya adalah sungai besar seperti Tabunin. DAS Barito di Kalsel mencakup luas 1,8 juta ha atau 18.000 km2, hampir separuh wilayah Kalsel.
Daerah yang dilintasi aliran Barito dan anak sungainya dihuni warga yang bekerja sebagai nelayan atau petani. Para nelayan mencari ikan di badan sungai atau di kawasan rawa yang menghampar luas. Sementara itu, para petani membudidayakan lahan di atas tanah endapan (alluvial) yang porsinya sekitar 60 persen. Selebihnya rawa atau gambut.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Kalsel 2018, hampir 3 juta jiwa warga Bumi Lambung Mangkurat menggantungkan kehidupan di sekitar sungai, terutama DAS Barito ini, seperti di kawasan Kabupaten Banjar dan Barito Kuala. Keduanya tercatat sebagai lumbung beras Kalsel. Secara keseluruhan, Kalsel memiliki lahan sawah hampir 77 ribu ha.
Dari luasan panen itu, Barito Kuala pada 2018 menjadi penyumbang produksi padi terbesar, mencapai 263 ribu ton lebih gabah kering giling (GKG). Hal yang sama juga dilakukan Kabupaten Banjar sebagai lumbung beras nomor dua terbesar di provinsi seluas 37,53 ribu km2 itu. Produksi padi Banjar pada periode yang sama mencapai 180 ribu ton GKG dari luas lahan panen seluas 53.278 hektar yang dimilikinya.
Bencana Anomali Cuaca
Peristiwa banjir bandang yang menimpa wilayah Kalsel sejak 14 Januari 2021 membuat terkejut banyak pihak. Terlebih jika melihat laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalsel yang melansir bahwa hingga Rabu (20/1/2021), terdapat 256.516 jiwa yang terdampak di 11 dari 13 kabupaten/kota dengan luas genangan bervariasi antara 10 ribu ha hingga 60 ribu ha di Kabupaten Barito.
Kabupaten Banjar menjadi wilayah yang paling parah terdampak dengan total 17.996 kepala keluarga (KK) atau 72.994 jiwa. Begitu pula dengan Barito Kuala, di mana terdapat 13.568 KK yang harus mengungsi. Di beberapa wilayah ketinggian air mencapai di atas satu meter. Air tak hanya menggenangi rumah, tapi juga merusak lahan pertanian dan menghanyutkan sejumlah ternak milik warga. Banjir juga membuat 15 warga meregang nyawa.
Besarnya dampak banjir tersebut sampai membuat Presiden Joko Widodo harus terbang dari Halim Perdanakusuma, Jakarta menuju Syamsuddin Noor di Banjarmasin, pada Senin (18/1/2021). Begitu tiba di ibu kota provinsi, Presiden langsung melanjutkan perjalanan melewati jalur darat menuju Desa Mekar, Kecamatan Martapura Timur sebagai salah satu lokasi terparah yang terkena bencana.
Kendaraan kepresidenan jenis jeep 4.500 cc yang ditumpangi Presiden Jokowi bahkan harus menerjang genangan air setinggi 1 meter agar bisa tiba di Desa Mekar. Presiden Jokowi yang berdiri dari Jembatan Pekauman di Ulun Martapura, menyaksikan sendiri derasnya arus Sungai Martapura yang berwarna kecokelatan.
Mantan Wali Kota Solo ini, seperti dilansir dari kanal Youtube Istana Kepresidenan, menyatakan bahwa banjir itu merupakan peristiwa bencana terburuk bagi Kalsel. Dalam catatan BPBD Kalsel, terakhir kali banjir bandang dengan dampak kerusakan hampir mirip pernah terjadi pada Desember 2004 yang melanda Amuntai, Ibu Kota Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Ketika itu, sebanyak 244.890 warga terdampak akibat banjir tersebut. Sebanyak 122 sekolah terendam, dan sejumlah pasar serta ruas jalan protokol di Amuntai ikut tergenang. Kantor bupati pun tak luput dari terjangan air hingga setinggi 1 meter.
Kawasan Banjang, Amuntai Tengah, dan Amuntai Selatan, tiga kecamatan yang berada di tepian Sungai Tabalong, menjadi wilayah terparah akibat banjir. Banjir di Kalsel menurut Kementerian KLHK, lebih disebabkan oleh anomali cuaca di mana curah hujan di awal Januari 2021 mengalami puncaknya.
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian KLHK RM Karliansyah dalam keterangan persnya secara daring di Jakarta, Selasa (19/1/2021), menyebutkan bahwa curah hujan tinggi tersebut membuat volume air yang masuk ke DAS Barito berlipat-lipat kali dari batas normal. "Meningkat hingga 8-9 kali lipat dari biasanya. Sistem drainase tak mampu mengalirkan air dengan volume yang besar," kata Karliansyah. Daya tahan DAS untuk mengakomodir luapan air bobol.
Lokasi banjir berada di sepanjang DAS Barito di mana kondisi infrastruktur ekologis atau jasa lingkungan pengatur air sudah tak memadai. Topografi yang berelevasi rendah dan datar juga ikut mempengaruhi terjadinya banjir. Maka, air terakumulasi dalam jumlah besar tapi tingkat drainase-nya rendah. Air lambat menghilir.
Kementerian KLHK juga mencatat, terjadinya penurunan luas hutan alam pada periode 1990-2019 sebesar 62,8 persen di DAS Barito Wilayah Kalsel. Penurunan terbesar terjadi dalam rentang 1990-2000 yang menyentuh 55,5 persen. Pada 1990, luas hutan di DAS Barito Kalsel masih 803.104 ha, namun pada 2019 hanya tersisa sebesar 333.149 ha. Sementara itu, luas kawasan nonhutan pada 1990 adalah sebesar 1.025.545 ha dan bertambah menjadi 1.495.497 ha pada 2019.
Kondisi tersebut berdasarkan sistem pemantauan hutan dan peta tutupan lahan Kalimantan periode 1990-2019 dan hasil analisa serupa pada DAS Barito di Kalsel. Hal ini diungkapkan Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Kementerian KLHK Belinda Arunarwati Margono.
Hasil lebih rinci diutarakan Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Rokhis Khomarudin. Seperti dilansir dari Antara, 18 Januari 2021, ia menjelaskan pada 2010-2020 telah terjadi penurunan luas lahan hutan primer dan sekunder pada kawasan DAS Barito Kalsel.
Penurunan luas hutan primer sebesar 13 ribu ha, dan 116 ribu ha pada hutan sekunder. Sebanyak 146 ribu ha persawahan dan belukar (47 ribu ha) ikut hilang. Sebaliknya, dalam waktu bersamaan muncul kawasan perkebunan seluas 650 ribu ha di sepanjang DAS Barito Kalsel.
Data Lapan ini sejalan dengan temuan pihak Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel yang menyebutkan, 50 persen lahan di Kalsel telah beralih fungsi. Sebanyak 33 persen menjadi kawasan tambang batu bara dan 17 persen lainnya disulap jadi perkebunan sawit. Walhi Kalsel berharap, pemerintah untuk mengevaluasi secara menyeluruh perizinan yang telah diterbitkan.
Jika dari hasil proses audit ditemukan adanya operasional tambang atau perkebunan sawit yang menyebabkan timbulnya bencana, maka pemerintah tak perlu ragu untuk mencabut izin. Sementara itu, Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai Kementerian KLHK Saparis Soedarjoto mengatakan, pihaknya terus berupaya melakukan rehabilitasi lahan-lahan kritis di DAS Barito Kalsel. Tak terkecuali di kawasan bekas tambang melalui program pemulihan lingkungan dengan memaksa perusahaan-perusahaan melakukan kewajiban reklamasi dan revegetasi.
Penulis: Anton Setiawan
Editor: Putut Tri Husodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini