Indonesia.go.id - Ibu Pertiwi Memanggil Saintis Diaspora

Ibu Pertiwi Memanggil Saintis Diaspora

  • Administrator
  • Minggu, 9 Januari 2022 | 06:11 WIB
RISET INOVASI
  Carina Citra Dewi Joe. Perempuan asal Jakarta pemilik titel doktor bioteknologi dari Royal Melbourne Institute of Technology ini adalah satu dari enam pemegang hak paten global vaksin Covid-19 AstraZeneca. JOHN CAIRNS via BBC Indonesia
Kolaborasi menjadi kata kunci untuk memikat saintis Nusantara di seluruh dunia untuk mengembangkan beragam riset inovasi bagi kemajuan Indonesia. Sekretariat Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional menyebutkan, pada 2020 saja terdapat total 477 diaspora menjadi saintis di seantero dunia.

Jumlah penduduk Indonesia hingga Juni 2021, menurut data Administrasi Kependudukan di Kementerian Dalam Negeri, adalah berjumlah 272.229.372 jiwa. Penduduk sebanyak itu tidak hanya bermukim dari Sabang sampai Merauke atau Miangas hingga Pulau Rote saja. Terdapat sekitar delapan juta jiwa lainnya hidup dan menetap di seluruh penjuru dunia untuk berbagai tujuan.

Mereka ada yang bekerja, melanjutkan tingkat pendidikan, atau menikah dengan warga negara lain. Mereka kemudian dikenal sebagai masyarakat Indonesia di luar negeri (MILN) atau diaspora. Dalam Keputusan Presiden nomor 76 tahun 2017 disebutkan beberapa ketentuan mengenai diaspora. Misalnya warga negara Indonesia (WNI) atau warga negara asing (WNA) yang merupakan anak dari WNI, eks WNI, dan anak dari eks WNI.

Kata diaspora berasal dari bahasa Yunani kuno di tahun 586 Sebelum Masehi yang berarti penyebaran atau penaburan benih. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan kalau diaspora berarti tersebarnya suatu bangsa di berbagai penjuru dunia. Dalam Merriam-Webster Dictionary, diaspora mempunyai beberapa makna. Salah satunya adalah seseorang yang menetap jauh dari tanah air leluhur mereka. 

Para diaspora Indonesia tadi dalam perjalanannya telah bertransformasi menjadi sosok-sosok tangguh pada berbagai bidang di seluruh dunia. Di bidang riset dan inovasi, diaspora Indonesia sudah tidak perlu diragukan lagi kemampuannya. Kita tentu belum lupa dengan sepak terjang Carina Citra Dewi Joe. Perempuan asal Jakarta pemilik titel doktor bioteknologi dari Royal Melbourne Institute of Technology ini adalah satu dari enam pemegang hak paten global vaksin Covid-19 AstraZeneca.

Dari tangan dingin peneliti utama Jenner Institute University of Oxford, Inggris, tersebut, lahir vaksin dengan jangkauan penggunaan paling luas. Berkat kerja keras pemegang hak paten tentang manufacturing scale up atau produksi skala besar, AstraZeneca saat ini telah diproduksi sebanyak lebih dari 770 juta dosis. AstraZeneca telah digunakan di 178 negara di lima benua termasuk Indonesia.

Carina bukanlah satu-satunya ilmuwan diaspora Indonesia. Menurut Badan Riset dan Inovasi Nasional, para saintis diaspora menyebar merata di seluruh dunia. Di Asia Timur jumlah mereka mencapai 35 persen, diikuti Inggris dan Eropa (27 persen), Amerika Serikat dan Kanada (13 persen). Disusul Asia Tenggara (13 persen), Australia (7 persen), dan 5 persen ada di Timur Tengah serta Afrika. Mereka menguasai bidang-bidang keilmuan seperti teknik dan teknologi informatika (47 persen), ilmu pengetahuan alam (24 persen), kesehatan (14 persen), ilmu sosial (12 persen), dan 4 persen dalam bidang ilmu humaniora.

Sedangkan data Sekretariat Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional menyebutkan, pada 2020 saja terdapat total 477 diaspora menjadi saintis di seluruh dunia. Mereka tersebar di Asia Tenggara (120 orang), Asia Timur (92 orang), Eropa (43 orang), Inggris (34 orang), Amerika dan Kanada (105 orang), Timur Tengah-Afrika (14 orang), dan Australia (70 orang).

Maka tidak salah jika Presiden Joko Widodo saat Hari Kebangkitan Teknologi Nasional ke-26, 10 Agustus 2021, sampai merasa perlu untuk mengajak mereka untuk membangun kembali kampung halamannya. "Ada ratusan ribu peneliti dan inovator yang kita miliki dan juga ribuan diaspora peneliti kelas dunia. Kekuatan inilah yang harus dikonsolidasikan," ujar Presiden.

Kolaborasi menjadi kata kunci untuk memikat saintis Indonesia dari seluruh dunia untuk bergegas membangun kampung halamannya dan kemudian mengembangkan beragam riset inovasi bagi kemajuan Indonesia. Kepala BRIN Laksana Tri Handoko dalam sebuah pertemuan yang digagas Kedutaan Besar RI di Tokyo, Jepang, 24 Agustus 2021, mengatakan bahwa sumber daya manusia sangat berperan dalam mengejar ketertinggalan riset di tanah air.

Menurut doktor fisika partikel alumnus Hiroshima University ini, terdapat tiga faktor penting dalam pengembangan riset di Indonesia, yakni SDM, infrastruktur dan anggaran. LTH, begitu ia biasa disapa, menyebut bahwa jika dipersentasekan, maka pengaruhnya masing-masing bernilai 70 persen, 20 persen dan 10 persen. "BRIN akan berupaya memberbaiki ketiganya dengan fokus pada perbaikan SDM," ungkap penerima Humboldt Fellow.

Skema yang segera dijalankan oleh BRIN mulai 2022 adalah melibatkan para saintis unggul diaspora bertitel doktor atau profesor untuk melakukan program pendampingan bagi doktor riset lokal. Ini untuk meningkatkan kematangan saintis dalam negeri. Bentuknya dapat berupa visiting professor dimana para diaspora unggul ini akan diminta tinggal di Indonesia selama waktu tertentu, 6-12 bulan untuk memimpin tim-tim riset bentukan BRIN. Tentunya dengan menggandeng institusi tempat diaspora bekerja. Kegiatan ini lazim disebut sebagai sabbatical leave.

Untuk itu, BRIN berupaya memperbaiki ekosistem riset di tanah air. Salah satunya dengan membangun 10 infrastruktur riset seperti observatorium nasional, termasuk di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Pelaksana tugas Direktur Manajemen Talenta BRIN, R. Arthur Ario Lelono mengatakan, perbaikan ekosistem riset diharapkan dapat mengundang para saintis berdarah Indonesia. Apalagi pada 2022, BRIN akan semakin banyak melibatkan diaspora untuk berkolaborasi mendalami riset dan inovasi.

Sebagai mantan diaspora, LTH mengakui kembali ke tanah air untuk meneruskan pengabdian dan memberi kontribusi bagi kemajuan bangsa bukan sebuah keputusan mudah. "Ini adalah milestone, keputusan berat dan besar bagi perjalanan karier. Karena itu meski di luar negeri tetaplah aktif berkolaborasi membantu grup-grup riset di Indonesia. Saya secara personal berharap, bahwa teman-teman di luar negeri dapat menjadi enabler, pengungkit, dan ikut membantu mengisi serta bekerja di laboratorium-laboratorium riset kita," kata saintis kelahiran Lawang, 7 Mei 1968.

Karena itu kehadiran SDM unggul untuk riset dan inovasi menjadi kunci utama penciptaan dan penguasaan ilmu pengetahuan teknologi (iptek) untuk mendukung pertumbuhan ekonomi bangsa. Setinggi-tingginya bangau terbang, akhirnya ke pelimbahan juga, yang artinya sejauh-jauhnya merantau, kembali ke kampung halaman juga. Buat para diaspora Indonesia di seluruh dunia, inilah waktunya memberikan kemampuan terbaik ketika tanah kelahiran kita memanggil.

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari