Makanan yang satu ini namanya oyek. Sebuah produk kuliner tradisional asal tanah Jawa yang berbahan dasar singkong. Oyek biasanya disajikan di atas pincuk daun pisang dengan taburan kelapa parut yang telah diolah dengan bumbu rempah atau kadang hanya cukup ditambahi garam.
Umbi singkong yang dipanen pada usia 12 bulan merupakan bahan baku paling pas karena teksturnya yang masih lembut dan tidak berserat. Cara membuatnya tidaklah sulit. Singkong yang baru dicabut, lalu dikupas, dibersihkan, dan direndam dalam air selama dua hari.
Setelah direndam, singkong ditumbuk hingga halus, lalu dijemur di sinar matahari hingga kering. Sebelum dijemur, tumbukan singkong tadi dibentuk dulu menjadi pipilan kecil-kecil mirip butiran beras. Jika diperhatikan sekilas, raut pipilan singkong tak semerona butir beras. Cenderung lebih pucat dan sedikit cokelat. Supaya bisa dikonsumsi, pipilan singkong ini harus dicuci bersih agar serat-serat singkongnya tak ikut dimasak. Kemudian dikukus sekitar 10 menit. Rasanya sangat khas.
Dalam literasi kuliner tradisional disebutkan bahwa daerah Kebumen, Cilacap, dan Banyumas di Jawa Tengah merupakan asal-muasal berkembangnya oyek. Ada pula yang menyebut oyek tak ubahnya tiwul. Tidak diketahui secara pasti kapan oyek mulai dimanfaatkan sebagai makanan. Hanya saja, oyek mulai sering dijadikan makanan pokok pengganti nasi beras di masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Saat itu masyarakat kesulitan untuk mendapatkan beras sebagai makanan pokok sehari-hari karena harganya yang tak lagi terjangkau serta langka. Singkong pun kemudian dilirik sebagai bahan makanan pokok pengganti nasi, salah satunya dibuat menjadi nasi oyek. Pilihan kepada singkong untuk menggantikan beras cukup beralasan karena tanaman ini mudah ditemui terlebih hampir tiap keluarga saat itu menanam singkong di sekitar pekarangan rumah atau kebun mereka.
Dikonsumsi Jenderal Soedirman
Oyek juga ikut menjadi saksi bisu perjuangan Jenderal Besar Soedirman keluar masuk hutan dalam menjalankan taktik perang gerilya menghadapi agresi militer Belanda di era 1948-1949. Seperti dikisahkan oleh Abu Arifin, Ajudan II Jenderal Soedirman, dalam buku Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia; Kisah Seorang Pengawal, ketika berada di daerah Kediri, Jawa Timur, Desember 1948, jenderal besar pendiri Tentara Nasional Indonesia itu bersama pasukannya terdesak masuk ke dalam hutan rotan di wilayah tersebut.
Arifin yang saat itu berpangkat kapten mengatakan pasukan mengalami kelelahan dan kelaparan luar biasa karena dikepung pasukan Belanda di sekitar hutan. Bahkan, logistik pasukan sudah tidak mendukung untuk tetap bertahan di dalam hutan.
Meski berada dalam kondisi kelaparan yang luar biasa, pasukan masih tetap bertahan untuk melakukan perlawanan. Hingga akhirnya di suatu malam, Ajudan I Jenderal Soedirman, yakni Kapten Soepardjo Rustam, diperintahkan untuk menembus barikade tentara Belanda menuju desa terdekat di kawasan hutan rotan.
Abu Arifin yang kini berusia hampir seabad dan menetap di Desa Dawuhan, Kecamatan Padamara, Kabupten Purbalingga, Jawa Tengah, mengatakan, waktu itu Kapten Pardjo--sapaan Soepardjo Roestam--pergi bermodal sarung dan baju bekas untuk ditukar makanan. Ia harus bersusah payah untuk menembus barikade pasukan Belanda untuk sampai ke desa terdekat.
Misi itu mampu dijalankan dengan baik olehnya. Arifin dan pasukan semula mengira makanan yang dibawa adalah nasi, tetapi belakangan Soepardjo baru menjelaskan bahwa masyarakat di sekitar hutan hanya memiliki oyek. Berbekal nasi berbahan oyek itulah, Jenderal Soedirman dan pasukan mampu bertahan selama beberapa waktu di dalam hutan rotan.
Arifin menyebut, nasi oyek menjadi asupan penambah energi dan membuat seluruh pasukan tak merasa kelaparan. Pernyataan Arifin ini cukup beralasan lantaran oyek adalah karbohidrat kompleks yang mengandung molekul seperti oligosakarida dan polisakarida. Kandungannya lebih banyak dibandingkan nasi dengan karbohidrat sederhana seperti monosakarida.
Alhasil, karbohidrat pada oyek akan lebih lambat diserap oleh tubuh sehingga energi yang dihasilkan dapat berlangsung secara terus-menerus. Dengan demikian tubuh menjadi tidak mudah lapar dan terhindar dari kegemukan.
Kembali Digemari
Saat ini oyek kembali naik kelas. Kerinduan masyarakat terhadap kuliner tradisional membuat oyek masuk dalam daftar wajib para penikmat jajanan lawas. Di situs-situs toko daring pun makin marak penjual nasi oyek atau bahan baku untuk membuat makanan unik ini. Mereka melabelnya sebagai beras singkong atau tetap mencantumkan nama oyek sebagai produk yang dijual.
Bahan oyek dijual dalam beragam kemasan, mulai dari 500 gram hingga 2 kilogram. Harganya pun bervariasi, mulai dari Rp10.000 hingga Rp30.000 untuk tiap ukuran, jauh lebih mahal dari harga beras.
Di tangan Rosidi, warga Kebumen, oyek tak hanya menjadi nasi. Ia menyulap oyek menjadi beragam kuliner yang mengundang selera. Misalnya, oyek goreng dengan taburan sambal petai nan menggoda atau nasi oyek liwet rempah. Ada juga kue lapis dan puding merah putih dari bahan oyek. Rosidi juga berkreasi dengan terobosan sushi oyek udang dan oyek puding lumpur.
Penulis: Anton Setiawan
Editor: Eri Sutrisno/ Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini