Penamaan Pura Meru sebagai singkatan dari Semeru, gunung tertinggi di Jawa Timur. Di luar pura, terdapat Masjid Nurul Falah yang berdiri pada masa raja terakhir Kerajaan Karangasem Mataram, Anak Agung Anglurah Gede Ngurah Karangasem, yang dikenal toleran dan menjaga keberagaman.
Lombok, pulau terbesar di Nusa Tenggara Barat (NTB) menyimpan kekayaan budaya masa lalu yang masih terjaga dengan baik. Pura Meru Cakranegara adalah salah satunya. Tempat peribadatan umat Hindu itu adanya di Mataram, ibu kota provinsi berjuluk Bumi Gora tersebut.
Lokasinya di Jl Selaparang, Kelurahan Cakranegara Timur, Kecamatan Cakranegara, Kabupaten Lombok Barat. Posisinya hanya sekitar 200 meter di seberang Taman Mayura, sebuah tempat wisata berbentuk kolam raksasa seluas hampir tiga hektare.
Kompleks peribadatan berukuran panjang 174 meter dan lebar 51 meter atau seluas 8.874 meter persegi ini adalah pura terbesar di Pulau Seribu Masjid. Pura dengan gerbang masuk utama bernama Kori Agung setinggi delapan meter terbuat dari bata merah ini, selain sebagai tempat peribadatan, juga menjadi objek wisata religius.
Tempat itu dapat ditempuh selama 40 menit berkendara dari Bandar Udara Internasional Zainuddin Abdul Madjid, Praya. Atau sekira satu jam dari destinasi pariwisata superprioritas The Mandalika di Lombok Tengah.
Pura Meru merupakan bangunan cagar budaya nasional yang ditetapkan pada 26 Februari 2007 lewat Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nasional nomor PM.19/PW.007/MKP/2007. Pura dan Taman Mayura menjadi saksi bisu masa kejayaan Kerajaan Karangasem Bali yang pernah menguasai Lombok. Pura Meru dibangun pada 1720 oleh I Gusti Anglurah Made Karangasem, wakil Kerajaan Karangasem Bali di Lombok.
Bangunan ini dibuat untuk tempat persembahyangan masyarakat Hindu dari kerajaan-kerajaan kecil di seputar Mataram yang berhasil ditaklukkan oleh Kerajaan Karangasem. Dalam Babad Lombok disebutkan, Agama Hindu masuk ke Lombok pada 1691 ketika seluruh penduduknya yang merupakan suku Sasak, masih menganut Islam.
Pura ini dinamai Meru sebagai singkatan dari Semeru, gunung tertinggi di Jawa Timur dan dianggap suci oleh Kerajaan Singosari yang menjadi leluhur I Gusti Nglurah Made Karangasem. Bangunan pura juga didedikasikan untuk tiga dewa utama umat Hindu, Brahma, Siwa, dan Wisnu dalam bentuk tiga meru atau menara bersusun.
Menara ini berbentuk limas dengan atap tumpang atau bersusun dan akan semakin mengecil di bagian puncaknya. Model atapnya merupakan simbolisasi tingkatan lapisan alam yaitu bhuana agung (alam besar atau makrokosmos) dan bhuana alit (alam kecil atau mikrokosmos), dari bawah ke atas.
Meru Siwa memiliki ukuran lebih tinggi dibandingkan dua meru lainnya. Berdiri di atas pondasi bata setinggi 3 meter dengan ukuran 5 meter x 5 meter, Meru Siwa menjulang setinggi 18,26 meter, beratap ijuk dan bersusun 11 lapis. Ia diapit oleh Meru Brahma dan Wisnu yang beratap genting dengan tinggi bangunan lebih pendek, sekitar 15 meter dan bersusun sembilan.
Seperti halnya Meru Siwa, pondasi kedua meru ini setinggi 3 meter dengan ukuran 4,3 meter x 4,3 meter. Ketiga meru tersebut juga mewakili tiga gunung yang dianggap suci oleh pemeluk Hindu. Meru Brahma mewakili Gunung Agung di Bali, Siwa mewakili Gunung Rinjani di Lombok, dan Wisnu diwakili oleh Gunung Semeru di Jawa Timur.
Ketiga meru tersebut juga memiliki arti simbol warna yang bermakna. Pada perayaan piodalan (acara untuk mengingat lahir kembalinya pura), setiap meru akan dihiasi dengan kain yang disesuaikan dengan warna yang berbeda. Meru Brahma akan dihiasi dengan warna merah yang berarti api, simbol kematian umat Hindu yang dikremasi menggunakan api.
Meru Siwa menggunakan kain berwarna putih yang merupakan simbol air untuk mensucikan abu hasil kremasi sebelum dibuang ke laut. Sedangkan Meru Wisnu akan dihiasi dengan kain hitam yang melambangkan kegelapan atau kehidupan baru setelah kematian. Meru-meru ini terdapat di halaman jero pura atau disebut juga sebagai utama mandala, satu dari empat bagian dari Pura Meru Cakranegara yang ditandai dengan adanya halaman-halaman luas. Bagian lainnya adalah madya mandala, nista mandala, dan legar mandala.
Setiap bagian tadi diberi pembatas tembok bata merah tanpa plester setinggi 3-4 meter dengan ketebalan mencapai 80 sentimeter. Tiap bagian pada pura dihubungkan dengan pintu bergapura (gelung kori) dan arca raksasa (pemedal alit) pada tengah-tengah tembok pembatas. Pintu-pintu serupa dengan ukuran lebih kecil juga dibuat pada sisi utara-selatan dari tembok pembatas. Termasuk di bagian depan pura, tak jauh dari Kori Agung, sebagai jalur masuk-keluar umat dan turis.
Halaman utama mandala berukuran 42,5 meter x 42,5 meter dan menjadi inti dari Pura Meru Cakranegara. Selain tiga menara, terdapat pula bale dan padmasaran untuk para pemimpin upacara persembahyangan.
Ada juga 29 pondokan mini tiang enam berkelir putih dengan atap ijuk yang berderet dari utara ke selatan di sepanjang dinding pembatas Utama Mandala. Pondokan mini ini dikenal sebagai sanggar, melambangkan 29 banjar di sekitar pura yang ikut membantu pembangunannya di masa lampau. Ketika upacara Pujawali atau Usadha, umat dari 29 banjar akan menghias sanggar mereka di Pura Meru ini.
Di bagian madya mandala yang berukuran sama dengan utama mandala, terdapat bale petandakan dan bale gong. Beberapa pohon cempaka dan kamboja ukuran besar ikut menghijaukan madya mandala ini.
Nista mandala serta lengar mandala posisinya seolah bersatu karena tidak ada tembok pembatas. Kori Agung terletak di lengar mandala dan menjadi penghubung antara madya mandala dan utama mandala. Pura Meru dapat menampung hingga 5.000 umat Hindu di Lombok dan menjadi pusat persembahyangan saat ritual-ritual keagamaan seperti Pujawali, Galungan, dan Kuningan.
Uniknya, di sisi selatan terdapat bangunan Masjid Nurul Falah dengan dua menaranya yang menyembul di antara rimbunan pepohonan sekitar pura. Sebuah jalan kampung berdasar cone block selebar dua meter menjadi pemisah antara masjid dan pura.
Masjid yang kini dibangun ulang berlantai dua itu sudah ada sejak masa raja terakhir Kerajaan Karangasem Mataram, Anak Agung Anglurah Gede Ngurah Karangasem yang memerintah antara 1870-1894. Ia dikenal sebagai pemimpin yang toleran dan menjaga keberagaman. Anak Agung Anglurah Gede Ngurah Karangasem beristrikan perempuan Muslim Sasak, Dinda Aminah yang kemudian berganti nama menjadi Nawangsasih.
Hal itu disebutkan juga oleh JP Freijss, Sekretaris Serikat Misi Internal dan Eksternal di Batavia dalam bukunya Reizen naar Mangarai en Lombok in 1854-1856 yang terbit di Amsterdam, Belanda, pada Januari 1860. Masjid tersebut diperuntukkan bagi Nawangsasih dan umat Islam di sekitar Pura Meru Cakranegara dan menjadi simbol kerukunan beragama di daerah itu sejak ratusan tahun lampau.
Pura Meru Cakranegara layak dijadikan tujuan wisata terutama bagi para penonton lomba balap motor dunia MotoGP di Sirkuit Internasional Jalan Raya Pertamina Mandalika, 18--20 Maret 2022. Selamat mengunjungi dan menikmati budaya Lombok, Pulau Seribu Masjid.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari