Serasah hutan yang lembek, licin, dan empasan air hujan tak menyurutkan langkah Ahmad Munawir. Ia terus mendaki menembus rimbunnya belukar di hutan hujan tropis di lereng Gunung Salak, Kabupaten Sukabumi. Tujuannya, mendekati sebatang pohon puspa yang menjulang tinggi di dekat lereng yang ia kenali betul posisinya, yakni sebuah sudut di Blok Bitung Leha, Resort Taman Nasional 1 Halimun-Salak.
Tidak jauh dari pohon itu, Ahmad pun menyiapkan peralatannya yang berupa teropong. Dengan mengendap-endap dan berlindung di balik gerumbul semak, ia mulai mengarahkan teropongnya ke sebuah sarang burung yang berada di sebuah pucuk dahan. Pada ketinggian 25 meter dari tanah.
Ahmad Munawir lega, si Wira, bayi elang Jawa yang berusia dua minggu itu sehat. Bayi itu berkeciap riang, sambil mencoba mengibaskan sayapnya yang mungil. Bulu-bulunya tumbuh lebat dan warna coklatnya mulai membayang. Wira ditemani ibundanya, Beti. Sang ayah, Jalu, sedang berkelana di angkasa raya di sekitar Taman Nasional, yang berada di Kabupaten Bogor dan Sukabumi itu.
Sebagai Kepala Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Ahmad termasuk pegawai senior. Eselon dua. Namun, itu tak membuatnya betah di kantor. Ia menyukai blusukan ke hutan. Hari itu, pada pertengahan Ramadan, ia kembali melakukan pemantauan langsung ke lapangan. Ia tidak mau hanya mendengar laporan anak buah atas perkembangan Tim Monitoring Elang Jawa yang dibentuknya sejak tahun lalu.
Wira terpantau lahir pada 2 Mei 2020. Ia anak semata wayang. Sampai usia remajanya, satu tahun, ia masih akan tetap dikawal oleh ayah dan ibunya yang bergantian mencarikan makanan. Sebagai anggota keluarga predator puncak di angkasa Jawa, Wira sejak kecil terbiasa makan daging.
Dalam usianya yang dua minggu, jambul di kepalanya sudah mulai tumbuh. Wira sudah menunjukkan kelincahannya. Ia mencoba merebut sekerat daging dari paruh ibunya. Tapi, paruhnya masih terlalu kecil. Sehingga, Beti pun menyuapinya sampai kenyang.
Elang jawa (Nisaetus bartelsi) merupakan salah satu spesies kunci di TNGHS. Ia satwa endemik Pulau Jawa. Lembaga konservasi internasional PBB, International Union for Conservation of Nature (IUCN), menggolongkannya sebagai satwa terancam punah dengan status red list atau daftar merah, dan Pemerintah Indonesia telah menetapkannya sebagai jenis satwa dilindungi.
Sejak 1992, elang jawa telah dijadikan maskot satwa langka Indonesia. Sosoknya mengilhami Sultan Hamid II untuk dijadikan sebagai lambang negara, Garuda Indonesia. Desain karya politikus dari Pontianak itu memenangkan lomba nasional “logo” lambang negara tahun 1950. Sejak itulah, burung gagah-cantik itu resmi menjadi lambang negara. Elang jawa juga sering dijadikan maskot untuk kegiatan-kegiatan olahraga, seni, dan budaya.
Elang jawa ini, jantan atau betina, sama-sama memiliki ciri khas pada jambulnya, yang terdiri dari 2--4 helai bulu warna gelap yang menjulang sepanjang 12 cm. Habitatnya ada di hutan-hutan alam yang masih tersisa di Jawa, terutama yang ada di lereng pegunungan. Selain di kawasan Halimun-Salak, burung ini juga dapat ditemukan di Taman Nasional Ujung Kulon, kawasan Taman Nasional Gede-Pangrango, dan hutan-hutan di sekitar Gunung Slamet (Jawa Tengah) hingga ujung timur di Alas Purwo di Semenanjung Blambangan, Jawa Timur.
Burung ini senang hidup di dahan-dahan tinggi pada pohon puspa, rasamala, atau pohon hutan tropis lainnya. Ia memangsa tupai, kalong, musang, burung, atau reptil. Yang betina ukurannya lebih besar dari jantan. Seekor elang jawa yang besar, bisa merentangkan sayap selebar 110--130 cm. Namun, untuk ukuran elang-rajawali, burung ini tergolong kecil. Elang emas (golden eagle) di Amerika Utara, punya rentangan sayap 2,4 meter.
Rendah Populasi
Menurut Ahmad Munawir, elang jawa hanya mengalami satu kali masa berkembang biak dalam dua tahun. Itu pun jumlah telurnya hanya satu butir sehingga secara alami memiliki populasi yang rendah. "Masa bersarang merupakan masa yang paling penting dalam siklus hidup burung pemangsa untuk keberlanjutan keberadaannya," jelas Ahmad Munawir.
Di dalam ekosistem, elang jawa mempunyai peranan yang sangat penting yaitu sebagai indikator terjaganya suatu kawasan hutan. Secara umum, habitat elang jawa berada pada hutan primer dan sebagian kecil hutan sekunder yang berdekatan atau berbatasan dengan ecotone. Kawasan TNGHS seluas 113.357 hektare merupakan hutan hujan tropis pegunungan terluas yang masih tersisa di Pulau Jawa dan diyakini sebagai habitat terbaik dari jenis elang ini.
Ahmad Munawir menyampaikan, sejak 2015 hingga 2020 telah ditemukan 11 sarang aktif elang jawa di kawasan taman nasional Halimun-Salak itu. Delapan sarang di kawasan Gunung Salak dan tiga sarang di kawasan Gunung Halimun. Dari 11 sarang yang ditemukan, tercatat hampir di seluruh sarang mengalami success breeding, mampu berbiak, kecuali satu sarang yang berada di Blok Pasir Ngantuk, Resort Kawahratu, di kawasan Gunung Salak yang termasuk Kabupaten Sukabumi.
Dari hasil pemantauan petugas Taman Nasional, sarang yang berada di Blok Bitung Lega, Gunung Salak, paling banyak mencatat success breeding. Tercatat sebanyak tiga kali, mulai dari awal 2015, 2016, dan dan satu ekor lagi lahir pada pertengahan bulan April 2020, dua pekan lebih tua dari Wira. "Sebenarnya pada 2018 pasangan Beti dan Jalu membuahkan sebutir telor. Namun tidak menetas," ungkapnya.
Sebelumnya, pada 2019 telah lahir elang jawa di bagian barat laut Gunung Salak bernama Sabeni. Sedangkan Wira adalah produk dari timur laut Gunung Salak. Ahmad berharap keduanya kelak dapat menjalankan tugas sebagai raja penguasa langit Gunung Salak bagian utara, sehingga keseimbangan ekosistem di kawasan ini dapat terjaga dengan baik.
Populasi elang Jawa saat ini diperkirakan tinggal tersisa 300 ekor. Kelahiran Wira tentu menjadi kabar gembira. Dari perkembangannya, Ahmad juga yakin, kelak Wira akan tumbuh menjadi garuda muda yang akan ikut menjaga ekosistem Halimun-Salak.
Penulis: Anton Setiawan
Editor: Putut Tri Husodo
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini