Tuntutan lingkungan yang sehat dan berkelanjutan telah menjadi tuntutan dunia. Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia mau tidak mau harus mengikuti tuntutan tersebut, atau sering disebut dengan pendekatan pembangunan yang berkelanjutan.
Artinya, pembangunan berkelanjutan itu harus memenuhi kebutuhan manusia melalui pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana, efisien serta memperhatikan pemanfaatannya untuk generasi sekarang dan generasi mendatang.
Indonenesia memiliki lahan gambut yang cukup luas meski bukan yang terbesar di dunia. Negara ini hanya menduduki peringkat ke empat pemilik lahan gambut terluas di bumi ini setelah Rusia (137,5 juta ha), Kanada (113,4 juta ha), dan Amerika Serikat (22,4 juta ha).
Menurut data Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian dan Balai Penelitian Tanah, Kementan, Indonesia memiliki lahan gambut sebanyak 14,9 juta hektare. Dari total lahan seluas itu, Sumatra tercatat yang terluas dengan lahan gambut sebesar 6,4 juta ha, Kalimantan (4,8 juta ha), dan Papua (3,7 juta ha).
Negara ini patut berbangga dengan kekayaan lahan gambut tersebut. Pasalnya, keberadaan lahan gambut tropis sangat kaya karbon dan keanekaragaman hayati. Bahkan, lahan gambut Indonesia diprediksi menyimpan 550 gigaton karbon. Kekayaan karbon dalam lapisan tanah organik sejumlah itu setara dengan dua kali lipat karbon yang tersimpan di hutan di seluruh dunia.
Keberadaan lahan gambut, dengan kekayaan karbon di dalamnya, sangat penting bagi dunia. Sebab, dapat membantu mengurangi perubahan iklim dunia, terutama akibat adanya pemanasan global yang semakin tinggi.
Namun, akibat pembukaan hutan yang tak terkendali dan tak mengikuti tata cara pengelolaan hutan lestari serta berkelanjutan, terutama kepentingan perkebunan kelapa sawit, terjadi kerusakan parah pada lahan gambut di Sumatra dan Kalimantan.
Tentu masih segar dalam ingatan peristiwa berupa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dahsyat pada 2015. Betapa kebakaran itu menyebabkan sebagian besar Sumatra, bahkan negara tetangga ikut menderita akibat asap kebakaran hutan tersebut.
Sebagai gambaran, kerugian dari peristiwa karhutla pada 2015 diperkirakan mencapai US$16,1 miliar (sekitar Rp225,4 triliun). Sementara itu, dari luasnya areal lahan yang hangus sebanyak 2,08 juta ha, atau setara dengan empat kali pulau Bali. Daerah yang lahan gambutnya terbakar meliputi Kalimantan, Sumatra, dan Papua.Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tentu sangat prihatin dengan kondisi tersebut. Pelbagai langkah koreksi di sektor kehutanan pun dilakukan. Salah satunya adalah melakukan langkah moratorium lahan gambut.
Bahkan, pemerintah juga menerapkan kebijakan yang tegas melalui sejumlah regulasi, salah satunya melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 57/2016, yang merupakan perubahan terhadap PP No. 71 tahun 2014 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut serta memberlakukan moratorium pembukaan lahan baru atau land clearing di lahan gambut.
"Kita pernah rasakan hurt (sakit), sadness (sedih), anger (marah), dan segala macam perasaan yang bercampur aduk ketika itu. Namun, hasilnya sekarang bisa kita rasakan bahwa kebakaran hutan di Indonesia telah dapat dikelola dengan baik oleh semua pihak, di bawah kepemimpinan langsung Presiden Jokowi," kata Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Rakornas Asosiasi Pegusaha Hutan Indonesia di Jakarta, Selasa (13/11/2018).
Pembentukan BRG
Bukti sangat serius menangani masalah Karhutla, terutama terhadap lahan gambut, pemerintah juga membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG). Sebuah Lembaga yang langsung di bawah kendali presiden melalui PP No. 1 tahun 2016, yang diterbitkan awal 2016.
Tugas badan itu tidak ringan, yakni memulihkan lahan gambut yang terbakar sejak 2015 dan sebelumnya. Mereka mendapat mandat untuk melaksanakan program restorasi 2 juta hektare lahan gambut selama 2016-2020.
Restorasi gambut difokuskan di Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua. Target pencapaian restorasi lahan gambut per tahun ada sebanyak 30% pada 2016, 20% (2017), 20% (2018), 20% (2019), dan 10% (2020).
Pada 2016, ada sebanyak 200.000 hektare lahan gambut rusak dan kering yang bisa dibasahi. Pada 2017, ada 200.000 hektare lagi lahan gambut yang direstorasi. Bahkan tahun ini, menurut estimasi, program restorasi gambut menyasar lahan seluas 454.589 hektare.
Tentu tugas restorasi lahan gambut itu bukan hanya tugas pemerintah saja. Pemerintah pun juga menagih komitmen terhadap sejumlah perusahaan perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk memulihkan ekosistem gambut.
Belum lama ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan baru saja menerbitkan kembali surat perintah tahap II kepada 147 perusahaan untuk turut serta memulihkan lahan gambut. Potensi pemulihan lahan gambut dari 147 perusahaan itu dapat mencapai 1.070.940 hektare.
Ketika surat perintah tentang pemulihan lahan gambut pertama kalinya dikeluarkan, Kementerian KLH meminta 225 perusahaan perkebunan dan 100 perusahaan hutan industri. Ke-325 perusahaan itu semua berada di kawasan ekosistem gambut 2017.
Pada tahap I, surat perintah itu telah ditindaklanjuti oleh 167 perusahaan perkebunan dan HTI. Nah, kini sebanyak 147 perusahaan lagi diminta untuk serius melakukan restorasi lahan gambut. “Kami telah meminta 147 perusahaan untuk bersama-sama melakukan perbaikan pengelolaan ekosistem gambut," kata Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian KLH Karliansyah, seperti dikutip dari Antaranews.
Tak dipungkiri, tugas pemulihan lahan gambut tidaklah ringan. Minimal selama 2016 hingga 2018 Indonesia berhasil menghindari karhutla secara nasional setelah setelah sebelumnya rutin terjadi selama hampir 20 tahun.
“Bahkan Indonesia berhasil menjadi contoh bagi dunia internasional, dalam upaya penyelamatan lahan gambut. Tentu kontribusi semua pihak termasuk dunia usaha sangat signifikan dan membawa hasil yang positif,” ujar Siti Nurbaya.
Sejumlah langkah pemerintah untuk melakukan pemulihan ekosistem lahan gambut patut diapreasiasi. Artinya, pengelolaan lahan gambut sudah semakin baik meskipun sebenarnya juga tidak mudah.
Tantangan pemerintah ke depan adalah terus memperketat peraturan yang sudah ada dalam peraturan pemerintah yang ada sehingga upaya menjaga kelestarian dan ekosistem lahan gambut dengan prinsip pengelolaan gambut yang lestari tetap terjaga dan kelangsungannya tetap berlanjut untuk masa depan bangsa ini. (F-1)