BOTOL kaca bergambar badak bercula satu dan tulisan “Badak” berdiri tegak di meja sebuah kedai di Depok, Jawa Barat. Di sisi kanan dan kirinya terdapat botol minuman ringan merek lain. Beda dengan kemasan minuman di sebelahya, desain Badak terlihat vintage.
Tampilan botol bergaya vintage itu memberi efek berbeda kepada setiap pengunjung kedai. Ada yang emoh merogoh kocek sebanyak Rp10 ribu karena tidak tertarik dengan kemasannya. Sebaliknya, justru ada pengunjung yang menganggapnya unik sehingga tergoda melirik Badak dan membelinya. Selain itu, Badak juga memiliki segelintir pembeli fanatik. Mereka inilah yang kerap sengaja datang ke kedai untuk mendapatkannya.
Badak adalah minuman soda legendaris bermerek lokal. Asalnya dari Pematang Siantar, Sumatra Utara. Minuman ini terbuat dari air, karbon dioksida (CO2), garam, sodium, dan sulfatrinasius. Kehadiran karbon dioksida pada Badak memberi sensasi “menggigit” dan segar.
Sensasi inilah yang dicari para pembeli fanatik Badak. Sederet rumah makan di Medan atau rumah makan Medan di Jakarta biasanya menawarkan menu Susu Badak. Jangan terkecoh. Ini bukan susu hasil perahan Badak, melainkan soda gembira. Susu kental manis diaduk dengan soda Badak, lalu ditambah es batu. Rasanya manis dengan sensasi segar. Jika diseruput saat terik, Susu Badak mampu melepas dahaga.
Usia Badak kini hampir satu abad. Di tengah gempuran minuman soda merek internasional, Badak tetap eksis. Segelintir warung, kedai kopi dan rumah makan di Pulau Sumatra dan Jawa masih menjajakannya. Memang, butuh kesabaran untuk mencari minuman menyegarkan ini di luar Medan dan Pematang Siantar. Sebab, produksinya tidak lagi banyak.
Sejak pertama kali diproduksi, tidak banyak terjadi perubahan, baik pada rasa maupun kemasan. Sejak mulai diproduksi hingga sekarang, Badak tetap setia menggunakan botol kaca dengan desain vintage. Penakaian botol kaca berperan mempertahankan karbon dioksida pada minuman soda. Dengan demikian, sensasi menggigitnya tetap kuat.
Bagian Sejarah Minuman Soda Tanah Air
Minuman soda Badak, seperti tercantum dalam skripsi berjudul PT Pabrik Es Siantar di Pematang Siantar 1959-1990, diproduksi NV Ijs Fabriek Siantar. Dalam skripsinya, Kuasa Agustino Saragih menyebutkan NV Ijs Fabriek Siantar didirikan sarjana teknik kimia kelahiran Swiss bernama Heinrich Surbeck di Pematang Siantar pada 1916. Ada alasan tersendiri mengapa Surbeck memilih kota terbesar di Sumatra Utara itu sebagai lokasi pabrik.
Pada abad ke-20, banyak perkebunan baru muncul di Pematang Siantar, baik sekadar berkunjung maupun bekerja. Lebih dari itu, kota ini juga merupakan tempat transit barang dari Medan ke daerah lain. Alasan yang tidak kalah penting, ketersediaan air bersih untuk bahan baku produk berlimpah.
Mulanya, NV Ijs Fabriek Siantar hanya memproduksi es batu batangan. Sejak 1920-an, pabrik es ini mulai membuat minuman soda berlabel Badak. Pemakaian nama Badak sebagai merek minuman soda mengandung makna filosofis. Badak terkenal berkulit keras serta bertanduk kuat. Makna filosofisnya adalah minuman berlabel Badak akan bertahan di tengah gempuran minuman-minuman bermerek internasional.
Di tahun 1920-an, bukan hanya minuman-minuman soda Badak yang ada di pasaran. Coca Cola mulai dikenal di Indonesia pada 1927. Masuknya Fanta ke Indonesia pada 1973 juga membuat persaingan di pasar minuman bersoda kian ketat.
Persoalan lain yang muncul bukan hanya terkait persaingan pasar. Di balik kesegaran minuman-minuman soda Badak terdapat pula kisah getir sang pemilik awal. Hidup Surbeck berakhir tragis. Ia tewas di tangan laskar rakyat yang memberontak Belanda pascaproklamasi kemerdekaan. Sepeninggal Surbeck, NV Ijs Fabriek Siantar tetap menjalankan aktivitas produksi. Karyawan pabrik, Elman Tanjung, mengelola perusahaan bersama rekan-rekannya sampai putri Surbeck, Lydia Rosa, kembali ke Pematang Siantar pada 1947.
Isu nasionalisasi pascakemerdekaan memaksa NV Ijs Fabriek Siantar mengubah namanya dari bahasa Belanda menjadi bahasa Indonesia, PT Pabrik Es Siantar. Kepemilikan perusahaan pun harus berpindah tangan kepada pribumi. Di tahun 1969, pengusaha pribumi bernama Julius Hutabarat membeli PT Pabrik Es Siantar dengan cara mencicilnya hingga 1971.
Ternyata peralihan kepemilikan tidak berdampak buruk terhadap penjualan. Badak justru kian berjaya. Merek ini digdaya di Sumatra Utara pada 1970 sampai 1980-an. Saat itu ada delapan varian rasa minuman soda berlabel Badak, mulai dari jeruk, anggur, nenas, American ice cream soda, air soda, kopi, raspberry dan sarsaparila. Varian yang disebutkan terakhir, sarsaparila, bahkan pernah diekspor ke Swiss, negara asal Surbeck.
Soda rasa buah dilakukan dengan memasak gula cukup lama. Kemudian ditambah pemanis berupa sukrosa, air bersih dan asam sitrat. Air gula ini lalu disaring dan dimasak lagi dengan tambahan air, karbon dioksida dan esens. Setelah itu didiamkan hingga semua bahan benar-benar larut dan tercampur rata.
Produksi Badak pada masa jayanya mencapai 40 ribu krat per bulan. Namun, seiring dengan menurunnya permintaan, produksi Badak berkurang jadi 500 krat per bulan. Variannya pun dikurangi dari delapan menjadi dua.
Untuk membuat satu rasa, pabrik harus membeli satu esens. Agar rasa yang satu tidak tercampur dengan rasa lain, pabrik mesti membersihkan peralatan dan mesin setidaknya empat jam. Kondisi ini membuat proses produksi tidak efisien sehingga manajemen memutuskan untuk mempertahankan dua varian rasa yang paling disukai pelanggan. Kini, varian yang tersisa hanya lah air soda dan sarsaparila. (K-RG)