Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada September 2023 mencapai 52,51, tetap ekspansif meskipun melambat 0,71 poin dibanding Agustus 2023.
Perlambatan ekonomi di Tiongkok, salah satunya akibat krisis sektor properti, turut menjadi sumber perlambatan ekonomi dunia. Hal itu berdampak bagi Indonesia, seperti tergambarkan dari kinerja ekspor Indonesia ke Tiongkok pada Agustus 2023.
Pada periode itu, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Indonesia ke Tiongkok mengalami penurunan 6,71 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Artinya, data di atas juga menggambarkan adanya penurunan permintaan dunia.
Kondisi pelambatan perekonomian dunia itu pun telah direspons Bank Indonesia (BI). Melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 20-21 September 2023, bank sentral telah memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,75 persen, suku bunga deposit facility sebesar 5,00 persen, dan suku bunga lending facility sebesar 6,50 persen.
Tujuan keputusan RDG Bank Indonesia itu sebagai wujud konsistensi kebijakan moneter untuk memastikan inflasi tetap rendah dan terkendali dalam kisaran sasaran 3,0±1 persen pada 2023 dan 2,5±1 persen di 2024.
Selain itu, melalui keputusan itu, bank sentral juga terus menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah sebagai langkah antisipasi dari dampak rambatan ketidakpastian pasar keuangan global. Berlandaskan data di atas, Kementerian Perindustrian baru saja melaporkan bahwa Indeks Kepercayaan Industri (IKI) periode September 2023 masih menunjukkan nilai ekspansi di level 52,51.
Adanya laporan Kemenperin tentu sangat menggembirakan, terutama bagi pelaku usaha sehingga mereka tetap optimis berkaitan dengan prospek perekonomian ke depannya. “Indeks Kepercayaan Industri (IKI) September 2023 mencapai 52,51, tetap ekspansif meskipun melambat 0,71 poin dibandingkan Agustus 2023,” kata Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arif saat rilis IKI September 2023 di Jakarta, Jumat (29/9/2023).
Menurut Febri, penurunan nilai IKI ini dikarenakan adanya peningkatan persediaan produk pada hampir seluruh subsektor manufaktur. Kondisi tersebut menunjukkan produksi pada September ini belum banyak terserap di pasar baik ekspor maupun dalam negeri.
Namun, Febri optimistis pelaku usaha di sektor industri tetap akan bergairah. Pasalnya, pemerintah telah memutuskan Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) terus dikerjakan.
“Berlanjutnya pembangunan IKN jelas menjadi salah satu penggerak ekonomi Indonesia khususnya industri manufaktur, salah satunya industri semen,” ujarnya.
Dia menjelaskan pembangunan IKN memberikan kontribusi terhadap penjualan semen secara nasional sekitar 800.000 hingga 1 juta ton per tahun. Selain itu, Febri menjelaskan, banyaknya barang impor yang beredar di dalam negeri menyumbang penurunan IKI dalam tiga bulan ini, khususnya untuk sektor-sektor yang IKI-nya mengalami kontraksi, seperti industri tekstil dan produk tekstil, dan industri keramik.
Meskipun demikian, secara umum kepercayaan industri pada bulan September 2023 masih stabil. Sebanyak 44,8 persen pelaku usaha menyatakan kondisi usahanya bulan ini tetap atau stabil. Bahkan, mengutip data BPS, sebanyak 17 subsektor industri tercatat masih berekspansi dengan memberikan kontribusi 88,2 persen pada share PDB industri pengolahan nonmigas triwulan II-2023.
Salah satunya, subsektor industri logam dasar. Sub sektor industri itu mengalami kenaikan nilai IKI dan berubah dari kontraksi menjadi ekspansi pada bulan ini. “Pemenuhan permintaan untuk pembagunan IKN diduga telah mendorong kinerja industri logam dasar,” tambah Febri.
Febri menjelaskan, pada September ini, terdapat enam subsektor dengan nilai IKI mengalami kontraksi dan memiliki kontribusi 11,8 persen pada share PDB industri pengolahan nonmigas triwulan II-2023.
Subsektor yang mengalami kontraksi pada September ini adalah industri tekstil, industri pakaian jadi, industri kayu, barang kayu dan gabus, industri barang galian bukan logam; industri furnitur dan industri pengolahan lainnya.
Febri menjelaskan, industri barang galian bukan logam mengalami kontraksi disebabkan oleh penurunan produksi industri kaca dan keramik, sedangkan untuk industri semen dilaporkan mengalami peningkatan produksi.
Walaupun masih ekspansi dan sebagian besar pelaku usaha masih optimis terhadap kondisi enam bulan ke depan, ada tingkat pesimisme pelaku usaha yang cukup mengkhawatirkan pada September ini. Diketahui, pelaku usaha yang pesimistis bertambah 2,4 persen yaitu sebesar 11,6 persen, disebabkan ketidakpastian di pasar global.
Adanya kenaikan harga energi juga meningkatkan tingkat pesimisme pelaku usaha. Nah, bagaimana bila dilihat dari variabel pembentuknya, variabel pesanan baru, dan produksi. Febri menjelaskan variabel itu masih mengalami ekspansi meskipun jika dilihat data impor bahan baku/penolong pada Agustus mengalami penurunan 4,13 persen dibanding bulan sebelumnya (mtm), serta impor barang modal turun 4,55 persen (mtm).
Sebaliknya variabel persediaan produk mengalami kontraksi. Terjadi penurunan nilai indeks pada variabel persediaan produk dari 51,85 menjadi 47,40 (turun 4,45 poin). Dalam rangka mengerem laju pelambatan di subsektor industri, Kementerian Perindustrian terus berusaha mendorong pelaku usaha di sektor itu untuk melakukan terobosan dengan mencari peluang pasar nontradisional sehingga iklim usahanya tetap bergairah selain tetap mengisi pasar domestik yang peluangnya masih terbuka lebar.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari