Indonesia.go.id - Dusun Wotawati Mengejar Sang Mentari

Dusun Wotawati Mengejar Sang Mentari

  • Administrator
  • Senin, 2 Desember 2024 | 13:20 WIB
WISATA
  Dusun Wotawati berada di lembah bekas aliran purba Bengawan Solo. Sebagian besar fasad rumah warganya telah bersalin rupa dengan tampilan depan seragam. IST
Dusun Wotawati tidak pernah terpapar sinar matahari dalam waktu lama karena letaknya di lembah diapit dua perbukitan besar di sisi timur dan barat.

Bengawan Solo merupakan sungai terpanjang di Pulau Jawa yang mengalir sejauh 600 kilometer sejak hulu di Pegunungan Sewu hingga bermuara di delta menuju Laut Jawa, yakni di Kecamatan Ujungpangkah, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Delta sungai saat ini dialihkan oleh kanal buatan menuju utara pada zaman kolonial Belanda. Delta sungai awalnya mengalir ke Selat Madura, tetapi pada tahun 1890 dibuat terusan sepanjang 12 kilometer (km) untuk mengalihkan Bengawan Solo ke Laut Jawa.

Tujuan pembuatan kanal untuk mencegah sedimentasi lumpur mengisi Selat Madura dan dengan demikian mencegah akses laut ke kota pelabuhan penting Surabaya. Hal ini karena delta Sungai Bengawan Solo memiliki aliran sedimentasi lumpur yang sangat besar dan mengendapkan 17 juta ton lumpur per tahun sehingga membentuk tanjung, yang rata-rata tumbuh memanjang 70 meter per tahun dan dikenal sebagai Tanjung Pangkah.

Namun, berdasarkan catatan sejarah yang dirangkum Anang Haris Himawan dalam Eksplorasi Sejarah Sungai Bengawan Solo terungkap bahwa muara awal terletak di tenggara Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang kini dikenal sebagai Pantai Sadeng yang berada di Kabupaten Gunung Kidul. Siapa sangka kalau aliran sungainya hanya sepanjang 20 km dan bermuara di Samudra Hindia. Berubah dari selatan ke utara akibat peristiwa geologis kira-kira 4 juta tahun lampau. 

Penyebabnya adalah karena terangkatnya daratan akibat desakan lempeng Indo-Australia masuk ke dalam lempeng Euro-Asia dan membentuk zona penunjaman. Peristiwa itu membuat sebagian Pulau Jawa terangkat terutama di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Pegunungan Sewu. Hal ini menyebabkan aliran sungai berbalik ke utara dan menyebabkan muara Sungai Bengawan Solo berubah sebelum perlahan mengering lantaran tidak ada lagi air yang mengalirinya.

Loksi aliran sungai purba itu telah menjelma menjadi perbukitan batu karst atau batuan karang serta tercatat sebagai Geopark Gunung Sewu Network yang ditetapkan oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) saat Konferensi Asia Pacific Global Network di Sanin, Kaigan, Jepang pada 2015 lalu. 

Saat ini sebagian besar aliran purba Sungai Begawan Solo dimanfaatkan menjadi lahan pertanian kecuali yang berada di Kelurahan Pucung, Kecamatan Girisubo, Gunungkidul, DIY. Ada sebuah dukuh atau dusun yang letaknya sedikit terpencil, namanya Wotawati. Untuk mencapai padukuhan ini jaraknya sekitar 36 kilometer dari Kota Wonosari atau 1 jam berkendara motor melewati Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS) di Rongkop. Kalau dari jantung Kota Yogyakarta jaraknya 78,4 km atau sekira 2 jam 6 menit berkendara. Wotawati untuk sementara hanya dapat dijangkau dengan kendaraan pribadi.

Dusun Wotawati letaknya di lembah bekas aliran purba Bengawan Solo dan untuk mencapainya perlu ekstrahati-hati lantaran kontur jalannya yang menurun dan sedikit curam terutama di musim hujan karena belum diaspal, baru sebatas diberi cor blok. Sebelah selatan dusun adalah Samudra Hindia sedangkan bagian timur berbatasan dengan Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri di Jawa Tengah. 

Lantaran lokasinya yang dipeluk oleh perbukitan membuat suhu udara dusun ini lebih sejuk dari tempat lain di sekitarnya, antara 24--26 derajat Celcius di waktu siang dan sekira 20--21 derajat Celcius kala malam hari. Kiri dan kanan dusun berdiri menjulang tebing bukit hijau ditumbuhi aneka tanaman keras milik warga seperti jati. Sebagian lainnya menanam singkong, pisang, jagung, dan kedelai. 

Warga dusun yang dihuni oleh 82 kepala keluarga (KK) atau sekitar 450 jiwa yang mendiami 4 Rukun Tetangga (RT) ini juga memelihara ternak sapi dan kambing yang pakannya berupa rumput gajah ditanam di sela pepohonan jati. Sebagian besar mereka merupakan warga asli yang telah hidup di Wotawati secara turun temurun sejak berabad silam. 

Terletak di lembah diapit dua perbukitan besar di sisi timur dan barat membuat Dusun Wotawati tidak pernah terpapar sinar matahari dalam waktu lama. Berbeda dengan wilayah lain, sinar mentari baru menerangi Wotawati sekitar pukul 8 pagi dan kembali menghilang sebelum jam 16.00 WIB dan membuat kawasan dusun gelap. Artinya, warga Wotawati menikmati terbitnya matahari lebih lambat dan merasakan tenggelamnya sang surya lebih cepat dibandingkan daerah lain.

Meski fenomena itu sepintas menarik, nyatanya menimbulkan tantangan bagi warga Wotawati. Di antaranya, sering kali pakaian yang mereka jemur menjadi susah kering. Durasi paparan sinar matahari yang sebentar ikut berpengaruh kepada pertumbuhan tanaman warga. Akhirnya warga pun harus berdaptasi dengan kondisi yang mereka alami dan seolah seperti mengejar matahari. 

Misalnya jika hendak pergi keluar dusun, maka harus diupayakan pulang sebelum gelap atau tiba di tempat tinggal mereka sebelum jam 16.00 WIB. Posisi yang dijepit oleh perbukitan tinggi menyebabkan warga sedikit kesulitan menangkap sinyal siaran televisi dan ponsel. Itu sebabnya, di hampir atap rumah warga kita dapat dengan mudah menjumpai antena parabola. Kendati terpencil, warga dusun sudah menikmati listrik selama 24 jam.

Kepala Kelurahan Pucung Estu Driyono seperti dikutip dari website Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gunungkidul mengungkapkan fenomena menarik di Wotawati bahkan bisa lebih singkat dirasakan sewaktu musim hujan tiba. Sebab, cuaca mendung justru lebih mempersingkat daratan Wotawati disinari oleh matahari. 

Kendati demikian, fenomena menarik di Dusun Wotawati menyimpan potensi wisata karena jarang ditemui di daerah lainnya. Selain itu warga setempat memiliki budaya yang tak kalah menarik untuk ditawarkan kepada wisatawan seperti tradisi gendhuri atau upacara meminta turun hujan. Seperti diketahui, daerah Gunungkidul yang terdiri dari 18 kecamatan merupakan Kawasan tandus karena dikelilingi oleh perbukitan dan pegunungan karst yang sulit menyimpan air. 

Melihat potensi wisata yang bisa dikembangkan dari Dusun Wotawati ini, maka sejak Juni 2024, Pemkab Gunungkidul memutuskan untuk menggelontorkan anggaran yang diambil dari Dana Istimewa (Danais) sebesar Rp5 miliar. Dana sebesar itu digunakan untuk penataan kawasan dusun seperti membangun ulang pagar dan teras rumah warga agar tampilannya lebih artistik. 

Sebagian besar fasad rumah warga saat ini telah bersalin rupa dengan tampilan depan seragam. Misalnya pintu halaman dibangun gapura kecil serta pagar telah ditembok. Menariknya, gapura dan pagar didirikan menggunakan bata merah ekspose atau tanpa diplester adukan semen. Bentuknya identik dengan perkampungan warga pada masa Kerajaan Majapahit atau bergaya mataraman. 

Rencananya hingga 3 tahun ke depan ada sebanyak 79 rumah warga yang direnovasi pada bagian fasad. Melalui penataan kawasan tersebut, Estu berharap Wotawati bisa makin dikenal masyarakat luas dan bukan saja menawarkan keindahan alam dan fenomena yang unik di dusun ini. Tetapi juga bisa mengenalkan budaya dan tradisi yang dimiliki. Misalnya aneka kuliner khas Wotawati seperti pepes kroto, masakan enthung jati, dan blendrat sejenis gorengan garing berbahan daun singkong. 

Pelaksana Tugas Bupati Gunungkidul Heri Susanto berharap, pengembangan Wotawati menjadi destinasi wisata terpadu dapat memberikan dampak ekonomi yang baik bagi masyarakat setempat. Dia meminta aparat kelurahan untuk bersinergi dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Gunungkidul agar memetakan prioritas pengembangan wisata di Wotawati. 

Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) DIY, GKR Bendara juga mendukung dimulainya penataan di Wotawati sebagai salah satu perwujudan pariwisata yang lebih berkualitas (quality tourism). Dirinya juga meminta supaya keindahan alam di Wotawati tidak rusak setelah menjadi tempat wisata dan berharap pihak kelurahan menerbitkan peraturan khusus demi melindungi kelstarian alam sekitar dusun. 



Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Taofiq Rauf